MANAJEMEN PONDOK PESANTREN TRADISIONAL
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam
struktur pendidikan nasional, pesantren merupakan mata rantai yang sangat
penting. Hal ini tidak hanya karena sejarah kemunculannya yang relatif lama, tetapi
juga karena pesantren telah secara signifikan ikut andil dalam upaya mencerdaskan
kehidupan bangsa. Dalam sejarahnya, pesantren merupakan lembaga pendidikan yang
berbasis masyarakat (society based-education). Dalam kenyataannya, pesantren
telah mengakar dan tumbuh dari masyarakat, kemudian dikembangakan oleh masyarakat,
sehingga kajian mengenai pesantren sebagai sentra pengembangan masyarakat
sangat menarik beberapa peneliti akhir-akhir ini. Kendatipun pesantren—atau
popular pondok pesatren—merupakan kenyataan sosial
yang sudah mapan dalam masyarakat Indonesia, namun tidak memperoleh perhatian
dan intervensi yang signifikan dari pemerintah untuk mengembangkan ataupun
memberdayakannya. Hal ini menjadikan pesantren tumbuh dengan kemampuan sendiri—yang
pada akhirnya menumbuhkan varian yang sangat besar, karena sangat tergantung
pada kemampuan masyarakat itu sendiri. Kadang, kesan yang muncul adalah bahwa
pesantren merupakan lembaga yang eksklusif dan kurang mengakomodasi
perkembangan zaman dalam hal sistem pembelajaran serta manajemen
pengelolaannya.
Dalam
manajemen pesantren dan sistem pembelajarannya mempunyai karakteristik
tersendiri, terutama tidak menganut ketentuan-ketentuan formalistic dan
procedural yang ketat. Hal ini karena organisasi sistem pembelajaran itu
sendiri tidak terbentuk sebagaimana mestinya. Dalam pembelajaran pesantren
konvensional tidak dijumpai komponen komponen pembelajaran formal, seperti
daftar santri (peserta) pengajian, daftar pelajaran, desain pembelajaran, media
pembelajaran, dan tidak ada pula evaluasi hasil belajar. Mata ajaran yang diajarkan
hanyalah ilmu-ilmu keagamaan—terutama dari kitab-kitab abad pertengahan yang
dikenal dengan kitab-kitab klasik/ kuning (al-kutub al-qadimah). Metode
pendekatan yang berkisar pada sorogan, bandongan, cocogan, setoran, muthalaah
dan musyawarah.
Jika
ditinjau dari sistem pendidikan yang diterapkan di pondok pesantren, terutama
sebelum masa orde baru, maka pendekatan yang sering dipergunakannya adalah
pendekatan holistik, hal itu dibuktikan paling tidak dengan prinsip-prinsip yang
tercermin dari sistem pendidikannya. Sistem pendidikan pesantren, mendasarkan
filsafat pendidikannya pada filsafat theocentric, yang memandang bahwa
semua aktivitas pendidikan dipandang sebagai ibadah kepada Tuhan dan merupakan
bagian integral dari totalitas kehidupan muslim, sehingga belajar dan mengajar
di pesantren tidak dipandang sebagai alat tetapi dipandang sebagai tujuan. Implikasi
dari prinsip tersebut, maka para pengajar di Pondok Pesantren memandang bahwa
kegiatan di pesantren sebagai ibadah kepada Tuhan, sehingga penyelenggaraan
Pondok Pesantren dilaksanakan "di bawah bayang-bayang Tuhan", sukarela
dan dijadikan sebagai media pengabdian kepada sesama manusia dalam rangka
mengabdi kepada Tuhan. Hal itu juga tercermin dari kearifan dan kesederhanaan
hidupnya sehari-hari yang menyiratkan semacam kesadaran transcendental.
Kesederhanaan di sini adalah identik dengan kemampuan bersikap dan berpikir
wajar, proporsional, dan tidak tinggi hati.
Sebagaimana gambaran tersebut di atas, maka yang menjadi
rumusan masalah dalam makalah ini adalah:
a.
Bagaimana
karakteristik pendidikan tradisional?
b.
Apa yang menjadi
elemen-elemen pesantren?
c. Bagaimana struktur Organisasi dan pola
Manajemen Pesantren Tradisional?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Karakteristik Pendidikan Islam Tradisional
Secara etimologis, kata “tradisional”
berasal dari kata dasar tradisi yang berarti tatanan, budaya atau adat yang
hidup dalam sebuah komunitas masyarakat. Karenanya, tradisional diartikan
konsensus bersama untuk ditaati serta dijunjung tinggi oleh sebuah komunitas
masyarakat setempat. Kata tradisional juga selalu menunjuk pada hal-hal yang
bersifat peninggalan kebudayaan klasik, kuno dan konservatif.
Bercermin dengan asumsi di atas, apabila
dikaitkan dengan sistem pendidikan dalam Islam, maka pandangan kita selalu
tertuju pada pesantren. Pesantren dianggap satu-satunya sistem pendidikan di Indonesia yang menganut sistem tradisional
(konservatif). Bahkan, oleh Ulil Abshar Abdallah dalam artikelnya, menyatakan
bahwa pesantren merupakan satu-satunya lembaga pendidikan Islam di Indonesia
yang mewarisi tradisi intelektual Islam tradisional.[1]
Identifikasi ini sekaligus mengukuhkan bahwa pesantren dengan segala infrastrukturnya merupakan
lembaga pendidikan di Indonesia yang masih menjunjung tinggi tradisi dan budaya
otentik bangsa. Pertanyaannya, seperti apakah pola umum pendidikan tradisional itu?
Untuk menjawab pertanyaan di atas, menarik
kiranya untuk mendiskusikan kembali definisi pesantren yang pernah diungkap
oleh Mochtar Buchori bahwa pesantren merupakan bagian dari stuktur internal
pendidikan Islam di Indonesia yang di selenggarakan secara tradisioanal yang
telah menjadikan Islam sebagai cara hidup.[2]
Sebagai bagian struktur internal pendidikan Islam Indonesia, terutama dalam
fungsinya sebagai institusi pendidikan, di samping sebagai lembaga dakwah,
bimbingan kemasyarakatan, dan bahkan perjuangan. Mukti Ali mengidentifikasikan
beberapa pola umum pendidikan Islam tradisional sebagai berikut.[3]
1. Adanya hubungan yang akrab antara kyai
dan santri
2. Tradisi ketundukan dan kepatuhan seorang
santri terhadap kyai
3. Pola hidup sederhana (zuhud)
4. Kemandirian atau indenpendensi
5. Berkembangnya iklim dan tradisi
tolong-menolong dan suasana persaudaraan
6. Disiplin ketat
7. Berani menderita untuk mencapai tujuan
8. Kehidupan dengan tingkat relagiusitas
yang tinggi.
Alamsyah Ratu Prawiranegara juga
mengemukakan beberapa pola umum yang khas yang terdapat dalam pendidikan Islam
tradisional sebagai berikut.
1. Independen
2. Kepemimpinan tunggal
3. Kebersamaan dalam hidup yang
merefleksikan kerukunan
4. Kegotong-r oyongan
5. Motivasi yang terarah dan pada umumnya
mengarah pada peningkatan kehidupan
beragama .
Demikian juga Mastuhu menuliskan, sebagai
sebuah lembaga pendidikan Islam tradisional, pesantren mempunyai empat ciri
khusus yang menonjol. Mulai dari hanya memberikan pelajaran agama versi
kitab-kitab Islam klasik berbahasa Arab, mempunyai tekhnik pengajaran yang unik
yang biasa dikenal dengan metode sorogan
dan bandongan atau wetonan, mengedepankan hafalan, serta
menggunakan sistem halaqah.
Metode halaqah merupakan kelompok kelas dari sistem bandongan. Halaqah berarti lingkaran murid, atau sekelompok santri
yang belajar di bawah bimbingan seorang ustadz dalam satu tempat. Dalam
prakteknya, halaqah dikategorikan
sebagai diskusi untuk memahami isi kitab, bukan mempertanyakan kemungkinan
benar salahnya apa apa yang diajarkan oleh kitab. Sejalan dengan itu, sebagai
mana dikemukakan Mahmud Yunus, halaqah
dinilai hanya cocok bagi pengembangan intelektual kelas santri yang cerdas, rajin,
serta bersedia mengorbankan waktu yang besar untuk belajar.
Namun demikian, meski dengan istilah yang
berbeda (munazaharah), halaqah berhasil dikembangkan dengan
baik oleh KH Mustaim Romli (Jombang), sehingga menjadi sebuah metode penyajian
bahan pelajaran yang mampu menanamkan
dan mengembangkan kreativitas, sikap kritis, logis, dan analitis secara
sekaligus, disamping juga mampu memotivasi seluruh peserta untuk terus belajar
dan berkompetisi dalam mengembangkan wawasan keilmuan secara mandiri. Hal ini
mengingat metodologi halaqah menempatkan
kiai atau hanya sebagai “moderator”.[4]
Selain halaqah, dalam dunia pesantren dikenal beberapa metedologi
pengajaran sebagai berikut.
1. Hafalan (Tahfizh)
Sebagai sebuah metedologi pengajaran,
hafalan pada umumnya diterapka pada mata pelajran yang bersifat nadham (syair), bukan natsar (prosa), dan itupun pada umumnya
terbatas pada ilmu kaidah bahaga arab, seperi
Nadhm AL-‘Imrithi, Afiyyah ibn
Malik, Nadhm Al-Maqsud, Nadhm Jawabir Al-Maknun, dan lain sebagainya. Namun
demikian, ada juga beberapa kitab prosa (Natsar)
yang dijadikna sebagai hafalan melalui sistem pengajaran hafalan. Dalam
metedologi ini, biasanya santri diberi tugas untuk menghafal beberapa bait atau
baris kalimat dari sebuah kitab, untuk kemudian membacakannya di depan sang
kyai/ustadz.
Oleh karena menggharuskan santri untuk
menghafal, metode ini sangat relevan apabila diterapkan kepada santri yang
masih tergolong anak-anak, tingkat dasar, dan tingkat menengah. Sedangkan pada
usia diatas itu, metode hafalan sebaiknya dikurangi sedikit demi sedikit, dan
lebih tepat digunakan untuk rumus dan kaidah-kaidah. Hal ini disebabkan pada
usia tersebut,tingkat kemampuan menghafal santri cenderung semakin lemah
seiring dengan menguatnya daya nalar dan pemahannya.
Dalam aplikasinya, metode ini biasanya
diterapkan dengan dua cara. Pertama,
pada setiap kali tatap muka, setiap santri diharuskan membaca tugas-tugas
hafalannya dihadapan kyai atau ustadz. Jika ia hafal dengan baik, ia
diperbolehkan untuk melanjuti tugas hafalan berikutnya. Sebaliknya jika ia belum
berhasil, ia di haruskan mengulang lagi sampai lancar untuk disetorkan kembali pada
pertemuan yang akan datang
Kedua, seorang kyai atau ustadz menugaskan santrinya
untuk mengucapkan bagian-bagian tertentu dari hafalan yang telah ditugaskan
kepada mereka, atau melanjutkan kalimat
atau lafadz yang telah diucapkan oleh gurunya.
2. Hiwar atau Muhawarah
Berbeda dengan hiwar dalam dunia pesantren yang mengedepankan penguasaan bahasa
sebagai alat komunikasi, hiwar dalam
pesantren salafiyah identik dalam musyawarah.
Dalam pemahamannya yang seperti itu, metode ini hampir sama dengan
metedo-metode diskusi yang umum kita kenal, salah satunya adalah yang
diterapkan di Pondok Pesantren Kempek, Cirebon.
Sebagi sebuah metode, hiwar merupakan aspek dari proses belajar
dan mengajar di pesantren salafiyah yang telah menjadi tradisi, khususnya bagi
santri-santri yang mengikuti sistem klasikal. Oleh karenanya, kegiatan ini
merupakan suatu keharusan. Bagi mereka yang tidka mengikuti atau mengindahkan
peraturan kegiatan hiwara atau musyawarah , akan dikenai sangsi, karena musyawarah sudah menjadi ketetapan pesantren yang harus di taati untuk
dilaksanakan.
Dalam pelaksanaannya, para santri
melakukan kegiatan belajar secara kelompok untuk membahas bersama materikitab,
yang telah diajarkan oleh kyai atau ustadz. Dalam belajar kelompok ini, mereka
tidak hanya membahas segala sesuatu yang berkenaan dengan topik/sub topik
bahasan kitab belaka. Lebih dari itu, tidak jarang mereka juga memperluas cakupan diskusinya,
hinggan mencakup pembahasan tentang
lafadz demi lafadz dan kalimat demi kalimat jika ditinjau dari gramatika bahsa
Aarab (ilmu alat). Semua nitu merupakan bagian integral dari usaha mereka untuk
bisa memahami makna hingga dapat
menyimpulkannya. Sejalan denga itu, metode ini dinilai sangat efektif
dan relatif cukup berhasil sehingga sampai saat ini meteode ini tetap di
pertahankan oleh Pesantren Salafiyyah.
3. Metode Bahtsul Masa’il (Mudzakaroh)
Mudzakaroh atau bahtsul
Masa’i merupakan pertemuan ilmiah
untuk membahas masalah diniyah, seperti ibadah, akidah, dan
permasalahan-permasalahna agama lainnya. Metode ini sesungguhnya tidak jauh
berbeda dengan metode musyawarah. Bedanya, sebagai sebuah metodologi mudzakarah pada umumnya hanya diikuti
oleh para kyai atau para santri tingkat tinggi. Dalam kaitan ini Mudzakarah (diskusi)
terbagi dua, yaitu:
a) Mudzakarah yang diadakan antar sesama kyai atau
ustadz. Pada tipe ini, biasanya disediakan kitab kitab besar yang merupakan
rujukan utama serta dilengkapi dengan dalil-dalil dengan metode Istimbath (pengambilan
hukum) yang lengkap. Metode ini pada umumnya bertujuan untuk memecahkan
permasalahan agama dan kemasyarakatan yang timbul, disamping juga untuk
memperdalam pengetahuan agama.
b) Mudzakarah, yang diadakan antar sesama santri. Bertujuan
untuk melatih para santri dalam memecahkan masalah dengan menggunakan
rujukan-rujukan yang jelas, serta melatih santri tentang cara berarguemntasi
dengan menggunakan nalar. Biasanya dipimpin oleh ustadz atau santri yang
ditunjuk oleh kyai.
4. Fathul Kutub
Fathul Kutub merupakan kegiatan latihan membaca kitab (terutama kitab klasik)
yang umumnya ditugaskan kepada santri senior di pondok pesantren. Sebagai
sebuah metode Fathul Kutub bertujuan menguji kemampuan mereka dalam
membaca kitab kuning, khususnya setelah mereka berhasil mengerjakan mata
pelajaran kaidah bahasa Arab. Metode ini biasanya dikhususkan bagi santri yang
sudah akan menyelesaikan pendidikannya di sebuah Pondok Peantren.
5. Muqoronah
Muqoronah adalah sebuah metode yang berfokus pada kegiatan perbandingan, baik
perbandingan materi, paham, metode, maupun perbandingan kitab. Metode ini hanya
diterapkan pada kelas-kelas santri senior (Mahad ‘ali) saja.
6. Muharawah atau Muhadatsah
Muhawarah merupakan latihan bercakap-cakap dengan
menggunakan Bahasa Arab. Metode ini digunakan untuk berbicara baik dengan
sesama santri maupun dengan para ustaz atau kyai.
Berbeda dengan metode pendidikan di
atas, zamakhsyari Dhofier lebih meliha kekhasan pola umum pendidikan Islam
tradisional dari sisi tujuan pendidikannya. Dalam tradisi pesantren,
Zamakhsyari menjelaskan bahwa ssalah satu keunikan dari pola pendidikan yang
dilaksanakan di pesantren adalah tujuan pendidikannya yang tidak semata-mata
berorientasi memperkaya pikiran santri dengan penjelasan-penjelasan, tetapi
juga menitik beratkan pada peningkatan moral, melatih da mempertinggi semangat
menghargai nilai-nilai spritual dan humanistik, mengajarkan kejujuran serta
mengajarakan hidup sederhana. Dalam hal ini tujuan pendidikan pesantren bukan
untuk duniawi tetapi untuk ibadah kepada Allah Swt.[5]
Secara lebih rinci Abdurahman Wahid
menjelaskan, pola umum pendidikan tradisional meliputi dua aspek utama
kehidupan di Pesantren[6]
Pertama pendidikan dan
pengajaran berlangsung dalam sebuah struktur, metode dan bahkan literatur yang
bersifat tradisional, baik dalam bentuk pendidikan non formal seperti halaqah
maupun pendidikan formal seperti madrasah dengan ragam dan tingkatannya. Adapun
ciri utama dari pendidikan dan pengajaran tradisional adalah ditekankan pada
pengajaran lebih bersifat kepada pemahaman tekstual (letterlijk atau harfiyah),
pendekatan yang digunakan lebih berorientasi pada penyelesian pembacaan
terhadap sebuah kitab atau buku untuk
kemudian beralih kepada kitab berikutnya, dan kurikulumnya tidak bersifat
klasikal.
Kedua, pola umum pendidikan Islam tradisional selalu memelihara sub-kultur
pesantren yang terdiri di atas landasan ukhrawi yang terimplementasikan
dalam bentuk ketundukan mutlak kepada ulama, mengutamakan ibadah, memuliakan
ustaz atau kyai demi memperoleh pengetahuan agama yang hakiki
B. Elemen-elemen Pesantren
Hampir dapat dipastikan, lahirnya suatu
pesantren berawal dari beberapa elemen dasar yang selalu ada di dalamnya. Ada
lima elemen dasar pesantren, antara satu dengan yang lainnya tidak dapat
dipisahkan. Kelima elemen tersebut meliputi; kyai, santri, podok, mesjid dan
pengajaran kitab-kitab Islam klasik atau yang sering disebut dengan kitab
kuning.[7]
Mastuhu mengklasifikasikan perangkat-perangkat
pesantren meliputi aktor atau pelaku seperti kyai dan santri. Perangkat keras
pesantren meliputi mesjid, asrama, pondok, rumah kyai dan sebagainya. Sementara
perangkat lunaknya adalah tujuan kurikulum, metode pengajaran, evaluasi, dan
alat-alat penunjang pendidikan lainnya.[8]
Namun demikian elemen-elemen pesantren tergantung pada besar kecilnya, program
pendidikan yang dijalankan pesantren. Untuk pesantren yang berskala kecil dan
hanya sekedar mengelola pondok pesantren saja (baca:Pesantren tradisional),
maka hanya kelima elemen dasar tersebut yang menjadi elemen pesantren. Dan
kelima elemen inilah yang menjadi objek manajemen.
C. Struktur Organisasi dan pola Manajemen
Pesantren Tradisional
Setiap pesantren memiliki struktur organisasi
sendiri-sendiri yang berbeda-beda satu terhadap yang lain, sesuai dengan
kebutuhan masing-masing. Meskipun
demikian, daripadanya dapat di simpulkan adanya kesamaan-kesamaan yang
menjadi ciri-ciri umum struktur organisasi pesantren, dan tampak adanya
kecenderungan perubahan yang sama di dalam menatap masa depannya, sebagai
berikut :
a. Pada dasarnya struktur organisasi
pesantren dapat digolongkan menjadi dua sayap sesuai dengan pembagian jenis
nilai yang mendasarinya, yaitu nilai agama dengan kebenaran absolut dan nilai
agama dengan kebenaran relatif.
b. Sesuai dengan hierarkis pembagian jenis
nilai sebagaimana tersebut pada halaman 16, maka sayap 1 mempunyai supremasi
terhadap sayap 2, dan oleh karena itu sayap 2 tidak boleh bertentangan dengan
sayap 1, apalagi kalau sampai melakukan perbuatan-perbuatan yang melanggar
akidah-syariah agama dan sunnah pondok.
c. Sayap satu dijaga oleh kyai utama dan dibantu
oleh kiai-kiai dan ustaz yang telah dinilai kemampuan ilmu agamanya oleh kyai utama. Para pembantu
kyai utama ini adalah juga santri-santri dari kyai utama. Sayap 2 dijaga oleh
kyai-kyai muda, ustaz dan santri. Semua kerja sayap 2, bahkan semua perilaku
warga pesantren harus memperoleh restu dari kyai utama, atau
setidak-tidaknya diperbolehkan atau
tidak dilarang oleh kyai utama.
d. Kyai utama merupakan pimpinan spritual
dan tokoh kunci pesantren. Kedudukan, kewenangan, dan kekuasaannya amat kuat.
Hubungan antarsantri, dan antara santri dan pimpinan (kiai, ustaz, dan
pengurus) bersifat kekeluargaan dan penuh hormat.
e. Pembagian kerja antar unit-unit kerja
sering kali kurang tajam dan banyak terdapat kesamaan. Misalnya antara
unit yang mengurusi pendidikan dan
pengajaran dengan unit yang mengurusi pengajian, kehumasan, kemasyarakatan,
kesejahteraan santri, dan sebagainya sering kali mempunyai tugas yang sama.
f. Gaya kerja dalam struktur organisasi
pesantren pada umumnya masih merupakan garis lurus ke atas, artinya setiap unit
kerja bergantung pada atasan langsung.
Dalam struktur organisasi pesantren
tradisional, peran kyai sangat menonjol. Pembahasan tentang peranan kyai dalam
kepemimpinan masyarakat tradisional tidak bisa dilepaskan dari pembicaraan gaya
kepemimpinan kyai dalam pesantren. Gaya kepemimpinan sorang kyai merupakan
salah satu ciri khas atau bahkan menjadi bagian, meminjam istilah Gus Dur,
subculture sebuah masyarakat tradisional (pesantren). Berbeda dengan gaya
kepemimpinan lainnya, kyai pesantren sering kali menempati atau bahkan
ditempatkan sebagai pemimpin tunggal yang mempunyai kelebihan (maziyah)
yang tidak dimiliki oleh masyarakat pada umumnya.[9]
Anehnya, sebagaimana dikemukakan Gus Dur,
hal demikian berlangsung secara alamiah. Keberadaanya tidak melalui proses
pembinaan dan pemberdayaan yang tetap dan baku. Berawal dari kesabaran,
kegigihan, dan kemandirian sang kyai untuk mengimplemasikan cita-cita luhurnya
dalam bentuk pendirian pondok pesantren, segala sesuatunya berjalan layaknya
air yang mengikutu laju arusnya, dan arus tersebut tidak lain dan tidak bukan
adalah heriditas. Implikasinya, gap quality (atau kesenjangan
kualitas) antara seorang pemimpin dengan lainnya tidak bisa dihindarkan.
Ironisnya, bukannya kenaikan, grafik kesenjangan kualitas tersebut pada umumnya
menunjukkan kemunduran dan penurunan pada tingkat penerusnya. Meski demikian,
kemutlakan dan kepemimpinan tunggal dalam sebuah masyarakat tradisional terus
berlangsung. Sifat mutlak inilah yang
kemudian dikenal sebagai karisma.
Kharismatik, demikian simpulan dari hasil
penelitian yang dilakukan Mastuhu berkenaan dengan gaya kepemimpinan kyai di enam lembaga pesantren yang
dinilainya mempunyai tipe kepemimpinan
yang khas. Meski dengan kadar yang berbeda-beda, sesuai dengan perbedaan
paradigma penyelenggara pendidikannya, kepemimpinan karismatik tetap menjadi
gaya yang paling dominan dianut para pengasuh pesantren. Sementara itu,
rasionalistik sebagai antonim dari kharismatik
hanya memperoleh porsi yang sedikit untuk dijadikan sebagai gaya
kepemimpinan.[10] Hal ini
terbukti dengan tidak adanya satu pesantren pun gaya kepemimpinannya karismatik
pengasuhnya kurang dari 50 %, sementara rasionalistiknya lebih dari 50%.
Dari gaya kepemimpinan kharismatik ini,
Mastuhu kemudian menemukan dua pola hubungan yang unik antara kyai dan santri.
Sebagaimana gaya kepemimpinan sang kyai, dua pola hubungan ini juga
terdapat disebuah obyek penelitiaanya. Dua pola hubungan tersebut adalah
sebagai berikut:[11]
Pertama, pola hubungan otoriter-paternalistik.
Yaitu pola hubungan antara pimpinan dan bawahan atau, meminjam istilah James C.
Scott, patron-client relationship; dan tentunya sang kyailah yang
menjadi pimpinannya. Sebagai bawahan, sudah barang tentu peran partisipatif
santri dan masyarakat tradisional pada umumnya, sangat kecil, untuk mengatakan
tidak ada; dan hal ini tidak bisa dipisahkan dari kadar kekharismatikan sang kyai. Seiring dengan
itu, pola hubungna ini kemudian diperhadapkan denga pola hubungan
diplomatik-partisipatif. Artinya, semakin kuat pola hubungan yang satu semakin
lemah yang lainnya.
Kedua, pola hubungan laissez faire.
Yaitu pola hubungan kyai santri yang
tidak didasarkan pada tatanan organisasi
yang jelas. Semuanya didasarkan pada konsep ikhlas, barakah, dan ibadah
sehingga pembagian kerja antar unit
tidak dipisahkan secara tajam. Seiring dengan itu, selama memperoleh restu sang
kyai, sebuah pekerjaan bisa dilaksanakan. Pola hubungan ini kemudian diperhadapkan
dengan pola hubungan birokratik. Yaitu pola hubungan di mana pembagian kerja dan fungsi dalam
lembaga pendidikan pesantren sudah diatur
dalam sebuah struktur organisasi yang jelas.
Dari sini dapat dipahami bahwa kharisma
yang dimiliki atau bahkan dilekatkan, baik secara sadar ataupun
tidak, kepada seorang kyai inilah yang kemudian menyebabkan mereka mempunyai
peran kepemimpinan dalam lingkungannya. Bahkan, dengan kekharismaan yang
demikian besar, kyai tidak hanya berperan sebagai pengasuh atau tokoh spritual
dalam masyarakat. Lebih dari itu, mereka juga berperan atau diperankan sebagai
pimpinan masyarakat, bapak, dan pelindung.
Sebagai sebuah gaya kepemimpinan, sudah
barang tentu terdapat kelebihan dan
kekurangannya. Disadari atau tidak, gaya kepemimpinan kharismatik memang diperlukan pada tahap awal
perkembangan pesantren. Pasalnya, sebagaimana diungkap Sukamto, kepemimpinan
kharismatik paternalistik cenderung menunjukkan bobot rasa tanggung jawab kyai
yang cukup besar perhatian secara pribadi terhadap para pengikutnya. Dengan
demikian, kyai dapat memberikan pelindung sebaik-baiknya demi terjaganya
persatuan dan kesatuan kelompok masyarakat yang dipimpinnya.
Kelemahan justru muncul pada saat gaya
kepemimpinan ini terus diadopsi secara
berkelanjutan. Kelemahan-kelemahan tersebut adalah tidak adanya kepastian
tentang perkembangan pesantren disebabkan segala sesuatunya bergantung pada
keputusan pimpinan, adanya keraguan dan bahkan ketidakberanian tenaga-tenaga
kreatif yang ikut membantu jalannya pendidikan intuk ikut berperan aktif dalam
menyumbangkan kreatifitasnya, tidak adanya perencanaan yang sistematis dalam
proses pergantian kepemimpinan (pada umumnya pergantian kepemimpinan disebabkan
oleh faktor alami, seperti kematian), dan tidak adanya peningkatan kualitas
kepemimpiana seiring meningkatnya pengaruh sang kyai dari tingakat lokal sampai
regional, dan atau bahkan nasional.
Meski demikian, bukan berarti gaya
kepemimpinan kharismatik harus dihilangkan,mengingat kelebihan yang
ditimbulkannya juga cukup dominan. Dalam konteks ini, diktum al-muhafazhatu
‘ala al-qadim al-sholih wa al-akhdzu bi al-jadid al- ashlah patut untuk
dikedepankan.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
pola umum pendidikan tradisional meliputi
dua aspek utama kehidupan di Pesantren Pertama pendidikan dan pengajaran
berlangsung dalam sebuah struktur, metode dan bahkan literatur yang bersifat
tradisional yang bersifat letterlijk. Kedua, pola umum pendidikan
Islam tradisional selalu memelihara sub-kultur pesantren yang terdiri di atas
landasan ukhrawi yang terimplementasikan dalam bentuk ketundukan mutlak
kepada ulama, mengutamakan ibadah, memuliakan ustaz atau kyai demi memperoleh
pengetahuan agama yang hakiki
Elemen-elemen pesantren meliputi lima
elemen dasar yaitu; kyai, santri, podok, mesjid dan pengajaran kitab-kitab
Islam klasik atau yang sering disebut dengan kitab kuning.
Dalam struktur organisasi pesantren
tradisional, peran kyai sangat menonjol, kyai sering kali menempapti atau
bahkan ditempatkan sebagai pemimpin tunggal yang mempunyai kelebihan (maziyah)
yang tidak dimiliki oleh masyarakat pada umumnya.
B. Saran-saran
Pesantren sebagai lembaga pendidikan memiliki sejarah yang cukup
panjang dalam membangun pendidikan khususnya bangsa Indonesia, sehingga
diperlukan upaya untuk terus diadakan pengkajian dan penelitian sehingga kita
mendapatkan informasi yang jelas.
DAFTAR PUSTAKA
Abdalla, Ulil Abshar, Humanisasi Kitab
Kuning: Refleksi dan Kritik atas Tradisi Intelektual Pesantren dalam Pesantren
masa depan: Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantre, Cet. I; Bandung: Pustaka Hidayah, 1999
Ali, Mukti, Beberapa Persoalan Dewasa Ini, Jakarta:
Rajawali Press, 1987
Haedari, Amin, dkk, Masa Depan Pesantren
Dalam Tantangan Modernitas dan Kompleksitas global, Cet, 1; Jakarta: IRD
Press, 2004
Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan
Pesantren: Suatu Kajian Tentang Unsurmdan Nilai Sistem Pendidikan Pesantren, Jakarta:
INIS, 1994
, Gaya dan Suksesi Kepemimpinan Pesantren
Vol II; Jakarta: Jurnal Ulumul Qur’an, 1990
Syukri Zarkasyi, Abdullah, Manajemen
Pesantren Pengalaman Pondok Modern Gontor, Cet ke-2; Ponorogo: Trimurti Press, 2005
Thaha, M. Chatib, Strategi Pendidikan Islam
dalam Mengembangkan Manusia Indonesia
yang berkualitas, Makalah Seminar oleh KMA PBS IAIN Walisongo, 1990
Wahid, Abdurahman, Kepemimpinan Dalam
Pengembangangan Pesantren dalam Bunga Rampai Pesantren, Jakarta: CV Dharma
Bhakti, tt
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren:
Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, cet II, Jakarta: LP3ES, 1986
[1] Ulil Abshar Abdalla, Humanisasi Kitab Kuning: Refleksi dan
Kritikatas Tradisi Intelektual Pesantren dalam Pesantren masa depan: Wacana
Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren, (Cet. I; Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), h. 287
[2] M. Chatib Thaha, Strategi Pendidikan Islam dalam Mengembangkan Manusia Indonesia yang berkualitas, (Makalah
Seminar oleh KMA PBS IAIN Walisongo, 1990)
[3] Mukti Ali, Beberapa Persoalan Dewasa Ini, (Jakarta: Rajawali
Press, 1987), h. 5
[4] Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren: Suatu Kajian Tentang
Unsur dan Nilai Sistem Pendidikan Pesantren, (Jakarta: INIS, 1994) h. 20-25
[5] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi
Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, cet II, (Jakarta: LP3ES,
1986), h. 21
[6] Abdurrahman Wahid, Bunga Rampai Pesantren, (Jakarta: dharma
Bhakti, tt) h. 73-74
[7] Amin Haedari, dkk, Masa Depan Pesantren Dalam Tantangan Modernitas
dan Kompleksitas global, (Cet, 1; Jakarta: IRD Press, 2004), h. 25
[8] Mastuhu, op.cit., h.55-56
[9] Abdurahman Wahid, op. Cit. h. 168
[10] Matuhu, Gaya dan Suksesi
Kepemimpinan Pesantren (Vol II; Jakarta: Jurnal Ulumul Qur’an, 1990) h. 88
[11] Ibid, h. 91-95
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda