Sosiologi Pendidikan Islam
TUGAS MAKALAH
Mata kuliah : Sosiologi Pendidikan
Islam
MEMAHAMI HUBUNGAN MASYARAKAT
DALAM KOMUNITAS MADRASAH
Oleh : Syamsuddin Rasyid
NIM : 10 062 052 023
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Secara
kodrati, setiap manusia mempunyai naluri yang kuat untuk selalu hidup
bersama-sama dengan manusia lainnya. Naluri ini disebut “gregariousness”.
Timbulnya naluri tersebut karena adanya dorongan/keinginan/kebutuhan biologis
yang perlu pemuasan, antara lain:
1. Dorongan untuk makan dan
minum agar tetap hidup, untuk itu diperlukan kerjasama dan bantuan orang lain.
2. Dorongan untuk mempertahankan
diri. Jika seseorang terancam bahaya, maka akan lebih mudah mempertahankan diri
dengan bekerjasama dengan orang lain.
3. Dorongan untuk memenuhi
kebutuhan biologis dan memperoleh keturunan. Hal ini memerlukan pasangan dan
kerja sama yang baik lewat perkawinan.[1]
Untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan tersebut, manusia tidak daapat berusaha sendiri-sendiri
secara terpisah, ia perlu berhubungan dengan manusia-manusia lainnya untuk
meminta bantuan atau bekerja sama agar apa yang dibutuhkan bisa diperoleh lebih
cepat dan lebih mudah.
Dalam kehidupan bersama
itulah, manusia dapat mengembangkan daya cipta, rasa, dan karsanya hingga maksimal
dan membuat kepribadiannya secara wajar melalui proses hubungan/ interaksi
masyarakat dimana ia berada. Dengan kata lain, manusia hanya akan menjadi
manusia (manusia yang berkepribadian) jika ia hidup bersama di tengah-tengah
manusia dan dididik oleh manusia dengan acuan nilai-nilai kemanusiaan yang
berlaku dalam lingkungannya. Oleh karena itu Aristoteles sejak 300 tahun SM
menyatakan bahwa manusia adalah “Zoon Politicon” artinya manusia makhluk
sosial.[2]
Dalam menjalin hubungan
masyarakat, peranan interaksi sangat besar yang meliputi hubungan timbal balik
antara dua pihak atau lebih yang saling mempengaruhi satu sama lain. Hubungan
bisa terjadi antarindividu, individu dengan kelompok, atau eklompok dengan
kelompok, bahkan antarmanusia engan lingkungan alam, sosial dan budayanya.
Hubungan sosial/masyarakat
dapat terjadi dalam sebuah lembaga kemasyarakatan. Salah satu lembaga
kemasyrakatan yang bergerak dalam bidang pendidikan Madrasah.
B. Rumusan Masalah
Madrasah
sebagai suatu lembaga atau wadah perkumpulan orang-orang yang memiliki tujuan
sangat diperlukan adanya hubungan antar manusia atau hubungan masyarakat. Dalam
proses hubungan tersebut, bisa berjalan secara harmonis, tetapi tidak sedikit
juga berjalan secara disharmonis, hal ini disebabkan oleh adanya
konflik, pertentangan maupun persaingan.
Berdasarkan
latar belakang dan deskripsi tersebut, maka yang menjadi rumusan masalah
adalah:
1. Bagaimana konsep hubungan
masyarakat?
2. Bagaimana eksistensi madrasah
sebagai lembaga masyarakat?
3. Bagaimana hubungan masyarakat
dalam komunitas madrasah?
C. Tujuan Penulisan
Adapun
tujuan penulisan makalah ini adalah:
1. Untuk mengetahui konsep
hubungan masyarakat
2. Untuk mengetahui eksistensi
madrasah sebagai lembaga masyarakat
3. Untuk mengetahui hubungan
masyarakat dalam komunitas madrasah.
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hubungan
Masyarakat
Hubungan masyarakat merupakan hubungan-hubungan
sosial yang dinamis yang berkaitan dengan hubungan antara individu dengan
individu, antara individu dengan kelompok, antara kelompok dengan kelompok
masyarakat yang lain.[3] Hubungan masyarakat adalah hubungan timbal
balik antarindividu, antarkelompok atau antara individu dan kelompok yang
saling mempengaruhi, Hubungan masyarakat dalam bentuk interaksi adalah syarat
utama bagi terwujudnya aktivitas sosial dalam kehidupan sosial. Interaksi
sosial bersifat dinamis dan bentuknya bisa positif atau negatif sehingga bisa
menghasilkan perubahan-perubahan sikap dan perilaku bagi para pelakunya.
Interaksi menjadi kunci dalam kehidupan bersama.[4]
Menurut charles P. Loomis dalam Edy Purwito
hubungan/ interaksi sosial memiliki empat ciri pokok, yaitu:
1. Jumlah pelakunya lebih dari
satu orang.
2. Ada komunikasi dua arah antar
pelakunya.
3. Ada dimensi waktu, (masa lalu,
sekarang dan yang akan datang)
4. Ada tujuan tertentu yang
ingin dicapai sebagai hasil interkasi.
Berlangsungnya suatu hubungan masyarakat
didasarkan pada pelbagai faktor antara lain imitasi, sugesti, identifikasi
dan simpati.[5]
Faktor-faktor tersebut dapat bergerak sendiri-sendiri secara terpisah maupun
dalam keadaan tergabung. Apabila masing-masng ditinjau secara lebih mendalam,
maka faktor imitasi misalnya mempunyai peranan yang sangat penting dalam
hubungan masyarakat. Salah satu sisi positifnya adalah bahwa imitasi dapat
mendorong seseorang untuk mematuhi kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang berlaku.
Namun demikian imitasi mungkin pula mengakibatkan terjadinya hal-hal yang
negatif dimana misalnya yang ditiru adalah tindakan-tindakan yang menyimpang,
kecuali daripada itu imitasi juga dapat melemahkan bahkan mematikan
pengembangan daya kreasi seseorang.
Faktor sugesti berlangsung apabila seseorang memberi suatu pandangan atau
sesuatu sikap yang berasal dari dirinya yang kemudian diterima oleh pihak lain.
Jadi proses ini sebenarnya hampir sama dengan imitasi akan tetapi titik
tolaknya berbeda. Berlangsungnya sugesti dapat terjadi karena pihak yang
menerima dilanda oleh emosi, dimana dapat menghambat daya berfikirnya secara
rasional.
Mungkin proses sugesti terjadi apabila orang
yang memberikan pandangan adalah orang yang berwibawa atau mungkin karena
sifatnya yang otoriter. Sugesti dapat pula terjadi jika yang memberikan
pandangan atau sikap merupakan bagian terbesar dari kelompok yang bersangkutan
atau masyarakat.
Identifikasi merupakan
kecenderungan-kecenderungan atau keinginan-keinginan dalam diri seseorang untuk
menjadi sama dengan pihak lain. Identifikasi sifatnya lebih mendalam daripada
imitasi, oleh karena kepribadian seseorang dapat terbentuk atas dasar proses
ini. Proses identifikasi dapat berlangsung dengan sendirinya (secara tidak
sadar), maupun dengan disengaja oleh karena seringkali seseorang memerlukan
tipe-tipe tertentu di dalam proses kehidupannya, walaupun dapat berlangsung
dengan sendirinya, proses identifikasi berlangsung dalam suatu keadaan dimana
seseorang beridentifikasi benar-benar mengenal pihak lain (yang menjadi
idealnya), sehingga pandangan, sikap maupun kaidah-kaidah yang berlaku pada
pihak laintadi dapat melembaga dan bahkan menjiwainya. Nyatalah bahwa
berlangsungnya identifikasi mengakibatkan terjadinya pengaruh-pengaruh yang
lebih mendalam ketimbang proses imitasi dan sugesti walaupun ada kemungkinan
bahwa pada mulanya proses identifikasi diawali oleh imitasi dan atau sugesti.
Simpati merupakan suatu proses dimana seseorang
merasa tertarik pada pihak lain. Di dalam proses ini perasaan memegang peranan
yang sangat penting, walaupun dorongan utama pada simpati adalah keinginan
untuk memahami pihak laindan untuk bekerjasama dengannya. Inilah perbedaan
utamanya dengan identifikasi yang didorong oleh keinginan untuk belajar dari
pihak lain yang dianggap kedudukannya lebih tinggi dan harus dihormati karena
mempunyai kelebihan-kelebihan atau kemampuan-kemampuan tertentu yang patut
dijadikan contoh. Proses simpati akan dapat berkembang didalam suatu keadaan
dimana terdai faktor saling mengerti.
Pada umumnya di dalam masyarakat ada 3 (tiga)
bentuk hubungan masyarakat, yaitu: kerjasama (cooperation), persaingan (competition),
dan pertikaian (conflict). Ketiga bentuk hubungan masyarakat tersebut
dirinci kembali dalam beberapa bentuk yaitu: akomodasi, asimilasi dan
akulturasi.[6]
1. Kerjasama (cooperation)
Kerjasama merupakan bentuk
paling umum yang diinginkan oleh banyak pihak karena setiap orang/kelompok
memiliki kecenderungan untuk hidup bersama, berkumpul dan bekerjasama untuk
memenuhi kebutuhannya.
Hubungan masyarakat dalam
bentuk kerjasama berlaku dalam ruang dan waktu yang sangat luas dan merambah ke
seluruh lapisan masyarakat serta meliputi seluruh aspek kehidupan manusia.
Hubungan kerjasama sangat penting untuk mewujudkan kehidupan sosial yang
teratur, tertib, aman, damai dan dinamis. Kerjasama bisa berlangsung secara
spontan, kerjasama langsung (perintah atasan), kerjasama kontrak (koperasi) dan
kerjasama tradisional (gotong royong, tolong menolong maupun kerukunan sosial).[7]
Menurut Charles H. Cooley
dalam Soerjono soekanto bahwa kerjasama timbul apabila orang menyadari bahwa
mereka mempunyai kepentingan-kepentingan yang sama dan pada saat yang bersamaan
mempunyai cukup pengetahuan dan pengendalian terhadap diri sendiri untuk
memenuhi kepentingan-kepentingan tersebut; kesadaran akan adanya
kepentingan-kepentingan yang sama dan adanya organisasi merupakan fakta-fakta
yang penting dalam kerjasama yang berguna.[8]
2. Persaingan (competition)
Persaingan adalah bentuk
hubungan masyarakat, dimana orang-orang yang terlibat di dalamnya sama-sama
menginginkan sesuatu yang sangat berharga/berguna/penting atau memperebutkan
sesuatu yang jumlahnya terbatas, tetapi belum sampai terjadi benturan fisik
diantara mereka. Menurut Gillin dalam Soerjono Soekanto mendefinisikan bahwa
“persaingan adalah suatu proses sosial, dimana para individu atau kelompok
manusia saling bersaing mencari keuntungan melalui bidang-bidang kehidupan yang
pada suatu masa menjadi pusat perhatian publik dengan cara menarik perhatian
publik atau mempertajam prasangka yang telah ada tanpa menggunakan kekerasan.[9]
Persaingan mempunyai dua tipe umum yakni yang bersifat pribadi misalnya dalam
memperoleh kedudukan tertentu di dalam suatu organisasi, dan ada persaingan
kelompok. Dalam kenyataannya persaingan dapat berakibat asosiatif atau
bersifat disasosiatif
3. Konflik (conflict)
Pribadi maupun kelompok
menyadari adanya perbedaan-perbedaan baik dalam ciri fisik, emosi, kebudayaan
maupun pola-pola perilaku dengan pihak lain. Ciri tersebut dapat mempertajam
perbedaan yang ada hingga menjadi suatu pertentangan atau pertikaian. Perasaan
memegang peranan penting dalam mempertajam perbedaan-perbedaan tersebut
sedemikian rupa sehingga masing-masing pihak berusaha untuk saling
menghancurkan. Pertentangan adalah suatu proses sosial dimana individu atau
kelompok berusaha untuk memenuhi tujuannya dengan jalan menantang pihak lawan
yang disertai dengan ancamandan/atau kekrasan. Sebab-sebab terjadinya
pertentangan adalah:[10]
a. Perbedaan antara
individu-individu.
b. Perbedaan kebudayaan
c. Perbedaan kepentingan
d. Perubahan sosial
Pertentangan merupakan suatu
proses disasosiatif akan tetapi sebagai bentuk proses sosial
pertentangan dapat diarahkan ke dalam hal-hal positif. Pertentangan di dalam
bentuk yang lunak dan dapat dikendalikan biasanya digunakan dengan sengaja
dalam acara-acara diskusi maupun seminar untuk menemukan ide-ide yang ideal dan
lebih baik.
B. Eksistensi Madrasah sebagai
lembaga sosial
Kebutuhan manusia bermacam-macam, cara
pemenuhan setiap kebutuhan harus diatur oleh lembaga tersendiri agar tidak
saling berbenturan. Karena itu dibentuk berbagai lembaga yang sesuai dengan
bidang kegiatannya, yaitu keluarga, ekonomi, politik, edukasi, agama, maupun
budaya.
Lembaga dapat diartikan sebagai badan atau
organisasi yang di dalamnya mengandung unsur-unsur yang mengatur perilaku warga
masyarakat agar terwujud suatu ketertiban/keteraturan sosial. Untuk itu, di
dalam lembaga diperlukan adanya norma-norma dan peraturan-peraturan tertentu
yang menjadi ciri lembaga tersebut.
Terbentuknya suatu lembaga diawali dari
banyaknya jenis kebutuhan manusia yang harus dipenuhi. Dalam memenuhi kebutuhan
tersebut, tiap-tiap orang melakukan berbagai tindakan. Agar tindakan-tindakan
tersebut tidak menimbulkan kekacauan, kerusakan dan kerugian orang lain, maka
diperlukan adanya suatu badan beserta perangkat peraturannya yaitu lembaga.
Berdasarkan berbagai kebutuhan tersebut maka di dalam masyarakat muncul
lembaga-lembaga kemasyarakatan misalnya lembaga politik, lembaga pendidikan,
lembaga ilmiah, lembaga keagamaan, lembaga kekerabatan.[11]
Dalam tulisan ini yang akan dibahas adalah
lembaga pendidikan dimana di dalamnya terdapat lembaga madrasah. Dalam sejarah
Pendidikan Islam madrasah jika ditinjau dari segi derivasi katanya
berarti belajar atau tempat belajar bagi siswa atau mahasiswa (umat Islam).
Pemakaian istilah madarasah secara definitive muncul pada abad ke 11
merupakan penjelamaan dari transformasi institusi pendidikan Islam dari mesjid
ke Madrasah.
Terkait dengan sejarah munculnya madrasah ada
beberapa pendapat antara lain menurut Ali al-Jumbulati dalam Suwito dan Fauzan
mengatakan bahwa madrasah yang pertama kali berdiri adalah Madrasah
al-Baihaqiah di kota Nisabur yang didirikan oleh Abu Hasan al-Baihaqi (w.414
H), menurut hasil penelitian Richard Bulliet (1972) menyatakan bahwa madrasah
yang pertama kali berdiri adalah Madrasah Miyan Dahiya yang mengajarkan fiqih
Maliki di Nisapur, Abd. Al-‘Al (1977) menyatakan bahwa madrasah yang pertama
adalah Madrasah Sa’diyyah, pada masa pemerintahan Sultan Mahmud al-Ghaznawi (998-1030)
sedangkan menurut Naji Ma’ruf Madrasah pertama yang didirikan adalah madrasah
yang berada dikawasan khurazan. Dari awal munculnya Madrasah, yang paling
populer adalah Madrasah Nizam al-Mulk atau madrasah Nizamiyyah yang didirikan
oleh Nizam al-Mulk seorang perdana menteri dinasti salajikah pada masa
pemerintahan Sultan Alp-Arslan dan Sultan Maliksyah pada abad ke-5 H atau abad
11 M. Tepatnya pada tahun 459H/1067 M.[12]
Menurut Mehdi meskipun madrasah Nizamiyah bukan merupakan madrasah pertama
dalam Islam, tetapi ia merupakan sistem madrasah pertama yang didirikan oleh negara
dan sunni. Madrasah Nizamiyah merupakan lembaga pendidikan resmi dimana
pemerintah terlibat dalam menetapkan tujuan-tujuannya, kurikulumnya, memilih
guru dan memberikan dana kepada madrasah.[13]
Dalam konteks Indonesia lahirnya madrasah tidak
bisa dilepaskan dari pendidikan pesantren yang sudah ada sejak Islam masuk
kenegeri ini. eksitensi madrasah dalam tradisi pendidikan Islam di Indonesia
tergolong fenomena modern yang dimulai sekitar abad ke-20 sebagai reaksi
terhadap sistem pendidikan yang diterapkan oleh pemerintahan Hindia Belanda
pada saat itu maupun bagian dari gerakan pembaharuan Islam di Indonesia yang
memiliki kontak cukup intensif dengan pembaharuan di timur tengah,[14]
Lembaga Madrasah lahir dari interaksi misi pendidikan Islam dengan tradisi timur
tengah modern,[15]
Dalam perkembangan selanjutnya madrasah menjadi
bagian dalam sub sistem pendidikan nasional. Madrasah diintegrasikan dengan
UUSPN No. 2/1989 yang mengatur tentang
semua jalur dan jenjang pendidikan termasuk pendidikan keagamaan dengan
mensejajarkan sekolah umum dengan madrasah.[16]
Dalam UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 pasal 15, pasal 17, dan 18 kembali
menegaskan kedudukan madrasah sebagai bahagian dari sistem pendidikan nasional.[17]
Madrasah adalah sekolah umum bercirikhas agama Islam yang dikelola oleh
Departemen Agama (Baca sekarang Kementerian Agama)[18]
Berdasarkan pengertian lembaga maupun proses
munculnya madrasah, maka madrasah adalah bahagian dari lembaga kemasyarakatan
dalam bidang pendidikan.
C. Hubungan Masyarakat dalam
Komunitas Madrasah
Sebagai suatu institusi atau lembaga, madrasah
memiliki berbagai unsur antara lain ada orang-orang, ada kerjasama dan ada
tujuan yang hendak dicapai.
Orang-orang yang berada dalam suatu madrasah
tergabung dalam komunitas madrasah yang secara intern atau terlibat secara
langsung meliputi: Kepala Madrasah, komite, Guru, pegawai TU, Penjaga sekolah
maupun peserta didik. Adapun komunitas madrasah secara eksternal termasuk
pemerintah, orang tua siswa, maupun masyarakat secara umum.
Dalam mencapai fungsi dan tujuan pendidikan
sebagaimana yang tercantum dalam pasal 3 UU No. 20 Tahun 2003 tentang sisdiknas
yaitu :
“Pendidikan nasional
berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa
yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”[19]
Untuk mencapai fungsi dan tujuan tersebut, maka
dibutuhkan unsur kerjasama antar komunitas madrasah. Kerjasama juga akan
melahirkan kehidupan sosial yang teratur, tertib, aman, damai dan dinamis.
Kerjasama bisa berlangsung secara spontan, kerjasama langsung (perintah
atasan), kerjasama kontrak (koperasi) dan kerjasama tradisional (gotong royong,
tolong menolong maupun kerukunan sosial).
Kerjasama dapat terjadi apabila masing-masing
subyek dalam komunitas madrasah mengerti dan memahami tugas pokok dan fungsinya
(Tupoksi). Tidak melakukan overlapping atau mengurusi sesuatu yang bukan
menjadi tugasnya tanpa perintah baik dari atasan maupun dari pemilik tugas yang
sebenarnya.
Kerjasama dalam mencapai tujuan lembaga akan
terjadi jika dalam komunitas madrasah tersebut terpelihara ukhuwah,
saling menghormati dan menghargai. Sikap-sikap seperti ini seharusnya menjadi
budaya dalam komunitas madrasah, alasannya pertama karena madrasah adalah lembaga pendidikan yang
harus mencerminkan perilaku mendidik baik dalam arti sempit sebagai proses
pengajaran maupun secara luas sebagai tauladan kepada semua pihak. Kedua madrasah
merupakan simbol lembaga keagamaan yang mengajarkan nilai-nilai agama yang
semuanya bermuara kepada kebaikan, kedamaian, maupun nilai-nilai yang lain.
Kesadaran terhadap ukhuwah Islamiyah
mencerminkan rasa persahabatan, persaudaraan, cinta kedamaian atau mendahulukan
ishlah, kerukunan, solidaritas, musyawarah dan toleransi yang dilakukan
oleh sesorang kepada orang lain.[20]
Dalam ukhuwah berpadu atau mengintegritas perasaan saling mencintai sesama
manusia, tidak menjadikan saudaranya sebagai musuh yang harus disingkirkan
serta menempatkan kemaslahatan di atas pribadi maupun golongan, selain itu
tidak ada lagi keinginan untuk menjegal hak-hak saudaranya serta kemajuan yang
dicapai individu lain. Kemajuan yang dicapai pihak lain dijadikan cambuk untuk
merekonstruksi jatidirinya.
Akan tetapi dalam realitas sosial tidak dapat
dinafikkan bahwa dalam komunitas madrasah sering terjadi disharmonisasi,
disintergrasi, sebagai proses disosiatif atau Oppositional process yang
berarti cara berjuang melawan seseorang atau sekelompok manusia dalam mencapai
tujuan tertentu. Adapun proses disosiatif terbagi dalam tiga bentuk yaitu : persaingan (competition),
kontravensi[21],
maupun pertentangan dan pertikaian (konflict).[22]
Kesemua persoalan-persoalan tersebut hanya akan menghambat tujuan lembaga
madrasah pada khususnya, bahkan tidak sedikit lembaga madrasah yang mempunyai
proses disosiatif mengakibatkan antipati masyarakat sehingga kurang diminati
dan pada akhirnya, berakibat pada penutupan madrasah.
Apabila gejala-gejala ini mulai muncul, maka
peran dan fungsi manajemen (kepemimpinan) madrasah sangat dibutuhkan. Fungsi
dan peranan kepemimpinan dapat diwujudkan antara lain dengan cara bersikap
adil, memberikan sugesti, mendukung tercapainya tujuan, sebagai katalisator,
menciptakan rasa aman, sumber inspirasi dan mau menghargai.
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian tersebut
di atas, maka sebagai kesimpulan adalah sebagai berikut:
1. Hubungan masyarakat merupakan
hubungan-hubungan sosial yang dinamis bisa positif dan negatif yang berkaitan
dengan hubungan antara individu dengan individu, antara individu dengan
kelompok, antara kelompok dengan kelompok masyarakat yang lain.
2. Terbentuknya suatu lembaga
diawali dari banyaknya jenis kebutuhan manusia yang harus dipenuhi. Berdasarkan
berbagai kebutuhan tersebut maka di dalam masyarakat muncul lembaga-lembaga
kemasyarakatan lembaga pendidikan yang di dalamnya terdapat madrasah
3. Hubungan masyarakat dalam
komunitas madrasah idealnya dapat berjalan harmonis melalui proses kerjasama
dan ukhuwah, namun juga sering terjadi disharmonisasi. Maka dibutuhkan
kesadaran serta peran manajemen dalam komunitas madrasah tersebut
B. Saran-saran
Tugas Madrasah sebagai
lembaga pendidikan dan keagamaan perlu menjadi contoh dalam kehidupan
masyarakat. Untuk itu dibutuhkan kesadaran dari komunitas madrasah untuk mampu
mengaktualisasikan diri dalam peran dan tugas tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Anwar, Memahami Paradigma Baru
Pendidikan Nasional dalam UU Sisdiknas, Cet III, Jakarta : Ditjen Kelembagaan Agama Islam Depag, 2003
Mukhtar, Maksum, Madrasah Sejarah dan
Perkembangannya, Cet III, Jakarta:logos wacana Ilmu, 2001
Nakosteen, Mehdi, Kontribusi Islam atas
Dunia Intelektual Barat, Surabaya risalah Gusti, 2003
Nata, Abuddin, Kapita Selekta Pendidikan
Islam, Bandung:Angkasa, 2003
Philipus, Ng. dan Aini, Nurul, Sosiologi Dan
Politik, Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2009
Purwito, Edy, Dinamika Sosilogi, Surakarta:Widya
Utama, 2004
Soekanto, Sorjono, Sosiologi Suatu
Pengantar, Cet.34, Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2002
Suwito, et.al. Sejarah Sosial
Pendidikan islam Cet.II, Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2008
Wahid, Abd., Islam di Tengah Pergulatan
Sosial, Yogyakarta:Tiara Wacana Yogya, 1993
Wahjosumidjo, Kepemimpinan dan Motivasi,
Cet III, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1993
[1] Edy Purwito, Dinamika Sosilogi, (Surakarta:Widya Utama, 2004),
h.58
[3]Ng. Philipus dan Nurul Aini, Sosiologi Dan Politik, (Jakarta :
RajaGrafindo Persada, 2009), h. 22
[4]Edy Purwito, Loc. Cit.
[5]Sorjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Cet.34, Jakarta :
RajaGrafindo Persada, 2002), h. 63
[6] Ng. Philipus dan Nurul Aini, op. cit., h. 23
[7] Edy Purwito, op. cit., h. 64-65
[8] Soerjono soekanto, op. cit., h. 73
[11] Edy Purwito, op. cit. h. 77-78
[12] Prof. Dr. Suwito, et.al. Sejarah Sosial Pendidikan islam (Cet.II,
Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2008) h. 214-217.
[13] Mehdi Nakosteen, Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat, (Surabaya
risalah Gusti, 2003), h. 178
[14] Dr.Maksum Mukhtar, Madrasah Sejarah dan Perkembangannya,(Cet
III, Jakarta:logos wacana Ilmu, 2001), h. 82-83
[15]Abuddin Nata, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Bandung:Angkasa,
2003), h. 97-98
[16] Dr. Mukhtar Maksun, op.cit., h. 154-155
[17] Anwar Arifin, Memahami Paradigma Baru Pendidikan Nasional dalam UU
Sisdiknas, (Cet III, Jakarta : Ditjen
Kelembagaan Agama Islam Depag, 2003), h. 41-42
[18] Maksum Mukhtar, loc.cit.
[19] Anwar Arifin, op. cit., h. 37
[20] Abd. Wahid, Islam di Tengah Pergulatan Sosial, (Yogyakarata:Tiara
Wacana Yogya, 1993) h. 128
[21] Kontravensi adalah sikap yang barada di antara persaingan dan
konflik atau sikap mental yang tersembunyi terhadap orang lain yang dapat
berubah menjadi kebencian.
[22] Lebih lengkap baca Soerjono Soekanto, op.cit., h. 90-104
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda