Selasa, 13 Maret 2012

Metodologi Studi Islam, Peranan Keluarga...


TUGAS INDIVIDU
Mata kuliah : Metodologi Studi Islam

PERANAN KELUARGA, MASYARAKAT, BANGSA DAN NEGARA DALAM PEMBINAAN KEPRIBADIAN MUSLIM

Disajikan dalam Forum Seminar
Program Pascasarjana Universitas Islam  Makassar
T.A 2010/2011

Oleh:
SYAMSUDDIN RASYID
NIM : 10 062 052 023


Dosen Pemandu:
Prof. Dr. H.Mappanganro, M.A.
Dr. H. M. Arfah Siddiq, M.A.

PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM  MAKASSAR
2010




KATA PENGANTAR
ÉOó¡Î0 «!$# Ç`»uH÷q§9$# ÉOŠÏm§9$#
            Segala puji hanya milik Allah, KepadaNya kita bersyukur dan atas RahmatNya kita dapat menyelesaikan berbagai masalah kehidupan.
Dalam rangka memenuhi amanah dan tanggung jawab sebagai seorang mahasiswa, maka kami wujudkan sebuah makalah dengan judul  Peranan Keluarga, Masyarakat, Bangsa dan Negara Dalam Pembinaan Kepribadian Muslim. dengan tujuan menambah pengetahuan   para pembaca.
            Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari harapan dan kesempurnaan, seiring dengan keterbatasan penulis. Dengan demikian kritik dan saran yang konstruktif akan lebih berguna dalam menyempurnakan kekurangan dari  makalah  ini.
            Tak lupa kami haturkan Jazakumullah Khaeran Atas segala bantuan dari berbagai pihak, terutama dari Bapak  Dosen pemandu  Prof. Dr. H. Mappanganro, MA dan Bapak Dr. H. M. Arfah Siddiq, MA.  serta  rekan – rekan mahasiswa.
            Akhirnya, mohon maaf atas segala kekurangan yang ditemukan nantinya dalam makalah ini.
Makassar November 2010
Penulis,
Syamsuddin Rasyid
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL……………………………………………………………  i
KATA PENGANTAR ………………………………………………………....  ii
DAFTAR ISI ……………………...…………………………………………… iii
BAB I         PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah .......………………………………..... 1
B.     Rumusan Masalah .…………………………………………….. 2
BAB II       PEMBAHASAN
A. Proses pembinaan Pribadi menurut Islam..................................4
       B. Proses pembinaan keluarga menurut Islam............……………6
       C. Proses Pembinaan Masyarakat menurut Islam..........................9
       D. Proses Pembinaan Negara dan Bangsa Menurut Islam...........11
BAB III         PENUTUP
A.  Kesimpulan…………………………………….……..……..…18
B.   Saran-saran……………...……………………………….……19
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………...……20





BAB I
PENDAHULUAN
A.       Latar Belakang Masalah
Manusia pada dasarnya dibekali dengan sifat-sifat Ilahiyah dan sekaligus hewaniyah. Sifat-sifat ilahiyah itu merupakan pengejawantahan dari sfat-sifat Allah swt. Yang terangkum dalam asmaul husnah, berjumlah 99 sifat. Hanya saja kualitas kualitassifat-sifat ilahiyah yang dijelmakan ke dalam diri manusia itu tentu lebih rendah, sesuai dengan kedudukannya sebagai makhluk. Sifat-sifat inilah yang dalam psikologi dikenal dengan istilah potensi.[1] atau dalam bahasa al-Qur’an disebut dengan fitrah. Hal ini sesuai dengan firman Allah swt dalam Q.S. al-Ruum (30:31)
óOÏ%r'sù y7ygô_ur ÈûïÏe$#Ï9 $Zÿ‹ÏZym 4 |NtôÜÏù «!$# ÓÉL©9$# tsÜsù }¨$¨Z9$# $pköŽn=tæ 4 Ÿw Ÿ@ƒÏ‰ö7s? È,ù=yÜÏ9 «!$# 4 šÏ9ºsŒ ÚúïÏe$!$# ÞOÍhŠs)ø9$#  ÆÅ3»s9ur uŽsYò2r& Ĩ$¨Z9$# Ÿw tbqßJn=ôètƒ ÇÌÉÈ  

Terjemahnya:
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang Telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.[2]
            Dari ayat ini memberikan isyarat kepada manusia bahwa agama yang diturunkan Allah melalui rasul-Nya, sesuai dengan fitrah atau sifat-sifat semula kejadian manusia. Dengan sifat-sifat ilahiyah ini manusia memiliki dorongan untuk mendekatkan diri kepada Sang Khaliknya, jika ini dibina dengan baik, maka dapat berbuat kebajikan yang kemudian akan terwujud dalam bentuk akhlaqul karimah (akhlak yang baik).[3]
            Karena pada diri manusia ada potensi yang bisa dikembangkan, sehingga mencapai taraf-taraf kesempurnaan. Namun di sisi lain manusia juga punya potensi yang dapat mengakibatkan perilaku takabbur, sombong, dengki, hasad, tidak memiliki belas kasihan terhadap orang lain, yang kesemuanya ini akan membawa pelakunya berakhlak madzmumah, secara tidak sadar. [4]
Hal seperti ini pula yang ditegaskan oleh Allah swt dala QS.Al-Syams (91:7-8)
<§øÿtRur $tBur $yg1§qy™ ÇÐÈ $ygyJolù;r'sù $ydu‘qègéú $yg1uqø)s?ur ÇÑÈ  
Terjemahnya:
7.  Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya),
8. Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya.[5
Oleh karena  kedua potensi yang telah diberikan oleh Allah swt. kepada setiap manusia itu nampaknya sama kuat, maka dari sinilah sehingga manusia butuh pembinaan dalam pengembangan potensinya itu.
B.        Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas, maka pemakalah merumuskan satu permasalahan umum, yaitu: Bagaimana proses pembinaan pribadi, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara menurut Islam
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Proses Pembinaan Pribadi Menurut Islam.
Setiap manusia memiliki potensi yang dapat dikembangkan yaitu potensi ketakwan dan potensi hewaniyah. Kedua potensi atau sifat dasar tersebut berkembang secara revolusioner dalam pribadi manusia sesuai dengan irama dan tempo perkembangan jiwanya. Kedua sifat dasar ini pula memiliki kekuatan yang relatif seimbang dalam diri manusia.[6] Namun demikian, manifestasinya ke dalam perilaku nyata  amat bervariasi tergantung lebih condong ke arah mana intervensi pengembangan kepribadian anak itu dilakukan.
Jika intervensi kepribadian itu lebih condong kepada pengembangan sifat-sifat ilahiyah, maka anak akan berkembang menjadi manusia muttaqin.  Namun, jika lebih condong kepada pengembangan sifat-sifat hewaniyah, maka ada kecenderungan anak untuk memancarkan perilaku hewaniyah.
Untuk mengembangkan potensi tersebut, manusia diberikan beberapa pilihan sebagai jalan atau proses menuju kepada pencapaian kepribadian muslim. Di antaranya adalah dengan proses pendidikan serta pengamalan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.
Dari hal tersebut menyiratkan betapa pentingnya sentuhan pendidikan. Karena pendidikan  berfungsi untuk meningkatkan kualitas kepribadiannya dalam pengembangan sifat-sifat ilahiyah yang ada dalam dirinya. Searah dengan itu Rasulullah saw. menyatakan lebih kongkrit dalam sabdanya sebagai berikut:
Artinya: Setiap bayi itu dilahirkan dengan membawa fitrah (potensi dasar), hanya ibu bapaknyalah yang menjadikan Yahudi, Nasrani atau Majusi.
Kata ibu bapaknya dalam hadits tersebut, bukan hanya orang tua kandung saja, tapi juga dapat berarti guru, atau masyarakat sekitarnya, yang memungkinkan terjadinya proses interaksi. Karena interaksi dengan orang-orang yang ada disekitarnya itu akan merupakan infisible education (proses pendidikan yang kentara).[7]
Dengan proses pendidikan, terlebih lagi pendidikan agama, memiliki fungsi untuk memperhalus dan mengubah sifat-sifat hewaniyah agar tidak terlalu seperti hewan pemunculannya dalam perilaku. Melalui sentuhan pendidikan agama itu pula, berarti memproses pembinaan kepribadian manusia dalam ikhtiarnya menjadi manusia yang muttaqin. Dengan pondasi agama juga menjadi pemicu tumbuhnya hasrat kuat untukmengembangkan seluas-luasnya sifat-sifat ilahiyah yang dimilikinya.
Pencapaian sasaran yang hendak dicapai melalui pendidikan agama itu memerlukan proses panjang, tidak ibarat meniup lampu aladin. Jika berbicara pendidikan agama bagi seseorang, sebenarnya harus dimulai sejak dini, berawal dari fase pertama kali memilih pasangan hidup untuk berkeluarga, berarti telah memproses kepribadian muslim jauh-jauh sebelum anak dilahirkan. Menjatuhkan pilihan pasangan hidup dalam berkeluarga, sebenarnya menyiratkan pemikiran hendak dibawa kemana anak yang dilahirkan sebagai buah hatinya kelak dikemudian hari. Jika pemilihan calon pasangan hidup yamg dilandasi oleh pertimbangan agama merupakan tonggak pendidikan agama yang pertama bagi anak, maka tonggak kedua adalah peristiwa kelahiran anak itu. Anak yang dilahirkan akan memperoleh pengalaman melalui pendengaran, penglihatan, perilaku, dan sikap orang tuanya yang dihayati dan direkam oleh anak.
Bila hal tersebut di atas terabaikan, maka boleh jadi kita telah membuat kesalahan fatal, yakni kesalahan dalam membentuk kepribadian bagi generasi penerus agama, bangsa dan negara.  Harus diyakini bahwa kesalahan dalam membentuk kepribadian anak merupakan kejahatan paling nista, sebab hal itu dapat mengakibatkan terjadinya kehancuran perjalanan hidup dan masa depan anak. “Mutiara hati” yang tercemar kepribadiannya ini dapat menjadi anak bangsa yang perilaku-perilakunya merugikan diri, orang tua, masyarakat dan negaranya.[8]
B.   Proses pembinaan keluarga menurut Islam.
Keluarga dan rumah tangga merupakan pangkalan yang aman dan tambatan yang kokoh bagi setiap anggota keluarga. Ayah, ibu dan anak-anak merupakan suatu basis yang didambakan teratur dan harmonis, maka seluruh anggota keluarga berkumpul untuk berkomunikasi memperbincangkan baik hal-hal yang menggembirakan maupun kesulitan-kesulitan hidup yang dihadapi. Keluarga merupakan suatu kesatuan masyarakat terkecil yang mempunyai motivasi dan tujuan hidup tertentu.
Dengan demikian proses pembinaan keluarga menurut Islam yaitu setiap anggota; ayah, ibu dan anak-anak mempunyai fungsi dan tanggung jawab yang saling mengisi, baik untuk eksistensi dan keselamatan persekutuan hidup, maupun persiapan para remaja yang nantinya akan melepaskan diri dari keluarga besar. Selanjutnya membentuk keluarga baru.
Tanggung jawab manusia terhadap diri dan keluarganya telah diatur di dalam ajaran agama Islam, sebagaimana tercantum dalam QS. Al-Tahrim (66 :6)
$pkš‰r'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#þqè% ö/ä3|¡àÿRr& ö/ä3‹Î=÷dr&ur #Y‘$tR $ydߊqè%ur â¨$¨Z9$# äou‘$yfÏtø:$#ur $pköŽn=tæ îps3Í´¯»n=tB ÔâŸxÏî ׊#y‰Ï© žw tbqÝÁ÷ètƒ ©!$# !$tB öNèdttBr& tbqè=yèøÿtƒur $tB tbrâsD÷sムÇÏÈ
       Terjemahannya;
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.[9]
            Dari seruan ini dapat dipahami bahwa Allah memerintahkan orang-orang yang beriman agar menjaga dirinya dari api neraka yang bahan bakarnya terdiri dari manusia dan batu. Menjaga diri itu dengan cara taat dan patuh melaksanakan perintah Allah swt. Selanjutnya mengajarkan hal yang sama kepada keluarganya.
             Menurut H.M.Asrorun Ni`am Shaleh bahwa pengakuan beriman kepada Allah swt. saja belumlah cukup, apabila tidak diikuti dengan upaya memelihara diri agar terbebas dari siksa api neraka yang sangat panas dan dahsyat itu. Jadi tuntutan untuk menanamkan dan mengokohkan keimanan itu dimulai dari rumah tangga. Sebab dari rumah tangga terbentuk umat dan dalam umat akan tegak masyarakat Islam.[10]
            Dengan demikian tanggung jawab seorang muslim terhadap diri sendiri adalah dengan menaati dan melaksanakan semua bentuk aturan dan kewajiban, baik berupa peraturan sosial, sekolah, peraturan pemerintah, terlebih peraturan agama.
            Seorang muslim yang hakiki akan selalu melaksanakan semua kewajiban yang diajarkan agamanya dan selalu meningkatkan nilai ketakwaannya. Sebab perilaku baik dan buruk itu tergantung padabaik dan tidaknya seseorang menjalankan ajaran agamanya. Semakin baik seseorang menjalankan agama maka semakin baik pula perilaku kesehariannya. Demikian pula sebaliknya.
            Selain memiliki tanggung jawab terhadap dirinya, seorang muslim juga memiliki tanggung jawab terhadap keluarganya. Seorang muslim berkewajiban membahagiakan keluarganya, memenuhi kebutuhannya, memperhatikan dan mengontrol setiap kewajiban agama yang harus dilaksanakan. Hal ini semakin dipertegas oleh Allah swt dalam QS. Thaha ayat (20:132)
öãBù&ur y7n=÷dr& Ío4qn=¢Á9$$Î/ ÷ŽÉ9sÜô¹$#ur $pköŽn=tæ ( Ÿw y7è=t«ó¡nS $]%ø—Í‘ ( ß`øtªU y7è%ã—ötR 3 èpt6É)»yèø9$#ur 3“uqø)­G=Ï9 ÇÊÌËÈ
Terjemahnya:
Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan Bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. kami tidak meminta rezki kepadamu, kamilah yang memberi rezki kepadamu. dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa.[11]

Ayat ini menyatakan bahwa setiap orang memiliki tanggung jawab untuk menyuruh keluarganya menegakkan shalat agar tidak terpengaruh oleh kekayaan dan kenikmatan dunia. Amanat Allah ini merupakan bekal bagi manusia untuk melakukan perjuangan hidup di muka bumi. Seseorang yang ingin sesuai dengan ajaran Islam, maka ia terlebih dahulu harus menjalin hubungan dengan khaliqnya. Dengan kata lain bahwa proses pembinaan keluarga menurut Islam ialah dengan cara mengajarkan hal-hal yang berkaitan dengan kewajiban terhadap penciptanya, serta tidak melupakan kewajiban terhadap sesama makhluk. Yakni tetap mengerjakan shalat dan memperkokoh batin dengan sifat tabah dan sabar dalam menghadapi cobaan hidup dan godaan kekayaan, pangkat dan kedudukan.
C.      Proses  pembinaan masyarakat menurut Islam.
Sebagaimana telah disinggung pada bagian depan bahwa Islam mengajarkan proses pembinaan terhadap diri pribadi, pembinaan terhadap keluarga, demikian pula dengan pembinaan terhadap masyarakat secara keseluruhan. Hal ini dapat dipahami dari firman Allah swt. dalam QS. Al-Nisa` ayat (4:36)
 (#r߉ç6ôã$#ur ©!$# Ÿwur (#qä.Ύô³è@ ¾ÏmÎ/ $\«ø‹x© ( Èûøït$Î!ºuqø9$$Î/ur $YZ»|¡ômÎ) “É‹Î/ur 4’n1öà)ø9$# 4’yJ»tGuŠø9$#ur ÈûüÅ3»|¡yJø9$#ur ͑$pgø:$#ur “ÏŒ 4’n1öà)ø9$# ͑$pgø:$#ur É=ãYàfø9$# É=Ïm$¢Á9$#ur É=/Zyfø9$$Î/ Èûøó$#ur È@‹Î6¡¡9$# $tBur ôMs3n=tB öNä3ãZ»yJ÷ƒr& 3 ¨bÎ) ©!$# Ÿw =Ïtä† `tB tb%Ÿ2 Zw$tFøƒèC #·‘qã‚sù ÇÌÏÈ
Terjemahnya:
Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.[12]

            Ayat ini merupakan prinsip kehidupan yang harus dipegang teguh oleh setiap manusia. Dalam ayat al-qur`an ini terkandung bimbingan dan tuntunan  pola hidup yang harus dijalankan oleh manusia sehingga aktivitas kehidupan manusia tidak menyimpang dari ketentuan Allah swt. Ayat ini juga menjelaskan bahwa manusia juga memiliki tanggung jawab lain, yaitu berbuat baik kepada kedua orang tua, kerabat, teman, anak yatim, fakir miskin, tetangga dan semua orang yang ada disekitarnyauni anak-anak yatim, membantu memenuhi kebutuhjan fakir miskin, . Umat Islam yang komitmen dengan keislamannya tentu akan selalu menginfakkan sebagian hartanya untuk orang-orang yang membutuhkan, seperti menyant dan lain sebagainya. Hal seperti ini adalah suatu proses pembinaan masyarakat menurut Islam. Karena dengan membiasakan masyarakat untuk berbuat baik, berarti dengan sendirinya mereka melawan sifat-sifat yang tidak sesuai dengan ajaran Islam.
            Selain tanggung jawab sosial, manusia juga memiliki tanggung jawab terhadap lingkungan sekitarnya. Manusia juga diperintahkan untuk menjaga dan melestarikan lingkungan, seperti mengurangi pencemaran lingkungan, dan harus melestarikan lingkungan, memanfaatkan sumber daya alam secara baik.
            Jelaslah bahwa Islam mengajarkan kepada umatnya agar memperhatikan kehidupan sosial kemasyarakatan. Dalam bahasa yang lebih jelas bahwa Islam membina umatnya untuk tetap melaksanakan ajarannya yang berhubungan dengan khaliqnya, serta tidak melupakan ajaran yang berhubungan dengan sesama makhluk, terutama manusia.    
D.      Proses pembinaan negara dan bangsa menurut Islam.         
Salah satu proses pembinaan negara dan bangsa menurut Islam adalah dengan membentuk pemerintahan yang bermodel khilafah. Sekalipun agak sulit diterima oleh sebahagian negara Barat, karena dianggap tidak mempunyai dasar yang kuat di dalam al-Qur`an, seperti yang ditulis   bahkan juga termasuk sebahagian umat Islam bahwa salah satu bentuk pemerintahan yang dikenal dalam Islam adalah khilafah. Namun harus diakui bahwa khilafah ini adalah suatu sistim  pemerintahan yang di dalamnya  terbentuk susunan pemerintahan yang diatur menurut ajaran Islam, di mana aspek-aspek yang berkenaan dengan pemerintahan seluruhnya berlandaskan ajaran Islam.[13]            Dalam pengertian lain bahwa khilafah adalah pengganti atau wakil Allah untuk melaksanakan undang-undang-Nya di muka bumi, sekaligus melanjutkan kepemimpinan Rasulullah dalam urusan keduniaan maupun keakhiratan.[14]
Bentuk khilafah yang benar-benar murni berlandaskan hukum-hukum Al-Quran dan Sunnah pernah dilaksanakan pada masa Rasulullah SAW. dan masa Khulafa`al-Rasyidin, dimana hukum-hukum al-Quran dan sunnah benar-benar diikuti dan ditaati secara konsisten oleh seluruh kaum muslimin.
Khilafah dapat diwujudkan dan ditegaskan oleh umat Islam sendiri dan tidak mungkin hal itu terwujud tanpa kemauan dan kehendak dari umat Islam yang bersangkutan. Adanya khilafah memang sangat dibutuhkan oleh umat Islam, sebab menyangkut segala aspek kehidupan umat Islam sendiri. Tanpa adanya khilafah, kehidupan bersama umat Islam tidak akan teratur, kemakmuran bersama tidak akan tercapai, bahkan eksistensi Islam dan umatnya dapat terancam.
Akan tetapi kehidupan umat manusia di dunia ini sudah sangat majemuk, sehingga terkadang sangat sulit untuk dicarikan kesepakatan yang bulat mengenai bentuk negara, apalagi yang menyangkut idiologi. Maka dalam kehidupan masyarakat Islam dewasa ini dalam bernegara, konsep khulafa Islam atau negara Islam mengandung dua pengertian yang berbeda, yaitu:
1.      Negara Islam, yaitu negara yang sumber hukum atau undang-undangnya Al-Quran dan sunnah dan dilaksanakan secara konsisten.
2.      Negara Islam dalam arti negara yang mayoritas penduduknya beragama islam, undang-undangnya tidak secara eksplisif berdasarkan Al-Quran dan sunnah, tetapi umat islam dalam menjalankan agama islam dengan sebaik-baiknya. Misalnya negara-negara Arab, Malaysia, Iran, Brunei Darussalam, dan negara anggota OKI (Organisasi Konferensi Islam).[15]
Dua bentuk pemerintahan diatas nampaknya relevan dengan kenyataan yang berlaku di negara-negara islam sekarang. Bentuk pertama diterapkan di negara yang struktur masyarakatnya tunggal, sedangkan bentuk kedua diterapkan pada negara yang masyarakatnya majemuk. Indonesia yang berasaskan pancasila dapat dikelompokkan dalam bentuk yang kedua.[16] Beberapa unsur yang terkait dengan khilafah dapat dijabarkan sebagai berikut :
a.      Dasar- Dasar Khilafah
Khilafah adalah masalah yang prinsip, karena menyangkut eksistensi agama Islam dan umatnya. Telah sepakat umat islam (ijma’yang mu’tabar), bahwa hukum mendirikan khilafah fardhu kifayah atas semua umat Islam. Alasannya adalah:
1.      Ijma` sahabat. Mereka mendahulukan permusyawaratan khulafa` daripada urusan jenazah Rasulullah saw.. ketika itu ramai dibicarakan soal khulafa oleh pemimipin-pemimpin Islam berupa perdebatan dan pertimbangan. Akhirnya tercapai kata sepakat untuk memilih Abu Bakar Al-Shiddiq sebagai khalifah, kepala negara Islam yang pertama setelah Rasulullah saw. meninggal.
2.      Sulit dapat menyempurnakan kewajiban; seperti melaksanakan hukum-hukum islam, menjaga keamanan, membela agama dan lain-lain, tanpa adanya khilafah.
3.      Nash Al-Quran dan Al-Hadist yang memerintahkan untuk mendirikan khilafah serta janji Allah berupa kebaikan yang akan diberikan kepada orang-orang yang mentaatinya. Hal ini  dapat dipahami dari Firman Allah swt. dalam QS.al-Nur (24: 55)
y‰tãur ª!$# tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä óOä3ZÏB (#qè=ÏJtãur ÏM»ysÎ=»¢Á9$# óOßg¨ZxÿÎ=øÜtGó¡uŠs9 ’Îû ÇÚö‘F{$# $yJŸ2 y#n=÷‚tGó™$# šúïÏ%©!$# `ÏB öNÎgÎ=ö6s% £`uZÅj3uKã‹s9ur öNçlm; ãNåks]ƒÏŠ ”Ï%©!$# 4Ó|Ós?ö‘$# öNçlm; Nåk¨]s9Ïd‰t7ãŠs9ur .`ÏiB ω÷èt/ öNÎgÏùöqyz $YZøBr& 4 ÓÍ_tRr߉ç6÷ètƒ Ÿw šcqä.Ύô³ç„ ’Î1 $\«ø‹x© 4 `tBur txÿŸ2 y‰÷èt/ y7Ï9ºsŒ y7Í´¯»s9'ré'sù ãNèd tbqà)Å¡»xÿø9$#
Terjemahnya:
Dan Allah Telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa dia sungguh- sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana dia Telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang Telah diridhai-Nya untuk mereka, dan dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, Maka mereka Itulah orang-orang yang fasik.[17]

Sistem pemerintahan pada masa Rasulullah saw dibangun berdasarkan prinsip-prinsip Islam yaitu:
1.      Kejujuran dan keikhlasan serta bertanggung jawab dalam menyampaikan amanah kepada ahlinya (rakyat) dengan tigak membeda-bedakan ras dan warna kulit.
2.      Keadilan yang mutlak terhadap segala lapisan masyarakat.
3.      Persatuan atau ukhuwah islamiyah.
4.      Tauhid  (mengesakan Allah) sebagaimana diperintahkan dalam ayat-ayat Al-Quran supaya menaati Allah dan Rasul-Nya.
5.      Kedaulatan rakyat, yang dapat dipahami dari perintah Allah yang mewajibkan kita taat kepada Ulil Amri (wakil-wakil rakyat).[18]
b.         Tujuan Khilafah
Adanya khilafah atau pemerintahan dalam Islam bukan menjadi tujuan, tapi hanya sebagai alat untuk mencapai tujuan.  Adapun tujuan khilafah adalah :
1.    Terciptanya kehidupan beragama yang mantap pengamalannya dengan segala aspek kehidupan ummat, baik dalam kehidupan pribadi, masyarakat dan negara.
2.    Terwujudnya kehidupan masyarakat yang adil, makmur dan sentosa. Terwujud kemakmuran diseluruh kehidupan masyarakat. Masyarakat merasa aman dan tentram, serta jauh dari rasa ketakutan dan kekhawatiran, baik yang berasal dari bangsanya sendiri maupun dari luar bangsanya.[19]
Dua tujuan di atas merupakan tujuan pokok berdirinya khilafah. Di satu sisi, agama Islam dapat tumbuh dan berkembang dengan baik dan di sisi lain umat Islam memperoleh kebahagiaan lahir dan batin. Dan tujuan ini sebagaimana disebutkan dalam al-Qur`an, yaitu: Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur, firman-Nya dalam  QS. Saba`(34:15);
ô‰s)s9 tb%x. :*t7|¡Ï9 ’Îû öNÎgÏYs3ó¡tB ×ptƒ#uä ( Èb$tG¨Yy_ `tã &ûüÏJtƒ 5A$yJÏ©ur ( (#qè=ä. `ÏB É-ø—Íh‘ öNä3În/u‘ (#rãä3ô©$#ur ¼çms9 4 ×ot$ù#t/ ×pt6Íh‹sÛ ;>u‘ur ֑qàÿxî ÇÊÎÈ
Terjemahannya :

Sesungguhnya bagi kaum Saba' ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (kepada mereka dikatakan): "Makanlah olehmu dari rezki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan yang Maha Pengampun".[20]

Dalam ayat ini jelas bahwa untuk menciptakan negeri yang aman, adil, makmur dan sejahtera maka harus ditunjukkan dengan kondisi masyarakat yang beriman dan mengikuti parintah dan aturan Allah SWT, sehingga terhadap penduduk tersebut akan dilimpahkan berkah baik dari langit maupun dari bumi. Sebaliknya suatu masyarakat yang ingkar kepada Allah swt, maka pada masyarakat itu akan ditimpakan berbagai macam musibah. Musibah ini bukan hanya dirasakan oleh orang-orang yang melakukan keingkaran dan kemaksiatan akan tetapi juga bagi orang-orang yang beriman disisi mereka, walaupun bagi orang yang beriman tersebut disebut ujian.



















BAB III
PENUTUP
A.       Kesimpulan
Berdasarkan uraian yang dikemukakan,  maka dapatlah ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1.      Proses pembinaan pribadi menurut Islam, yaitu dengan menaati segala yang diperintahkan oleh Allah swt. dan menjauhi segala yang dilarang-Nya.
2.      Proses pembinaan keluarga menurut Islam dimulai dengan memperbaiki diri, mencari pasangan hidup yang berasal dari orang-orang yang beriman, didalam keluarga masing-masing subyek menjalankan fungsi dan tanggungjawab serta memberikan pendidikan terhadap anak yang diawali dengan menjadikan teladan pada diri orang tua. Selain pendidikan yang dilakukan dalam keluarga, orang tua juga harus mencarikan lingkungan yang kondusif bagi perkembangan mental/psikologi serta pendidikan formal yang tepat.
3.      Proses pembinaan masyarakat adalah dengan membantu memenuhi kebutuhan fakir miskin, menyantuni anak yatim, membantu karib kerabat serta para tetangga dan juga kepada manusia yang lain harus memperlihatkan akhlak yang baik.
4.      Bangsa dan negara memiliki peran yang sangat penting dalam pembinaan masyarakat Islami. Peranan tersebut dapat diaktualisasikan mesti betuk negara tersebut belum menjadi negara Islam, tetapi prinsip-prinsip ajaran Islam dapat dilakukan oleh pemimpin-pemimpin negara beserta masyarakat Islam yang mayoritas. Negara yang majemuk seperti Indonesia ini perlu memikirkan cara yang strategis dalam upaya pelaksanaan syariat Islam bagi para pemeluk Islam.
B.       Saran-saran
Dalam membangun masyarakat yang mengharapkan keberkahan Allah swt, maka kehidupan harus dilandaskan pada ajaran-ajaran Islam. Untuk mewujudkan pelaksanaan ajaran Islam  maka kesadaran pribadi menjadi individu yang muttaqin harus diaktualisasikan dengan pengamalan ajaran Islam sebagai menjadi pondasi dasar. Dari kesadaran pribadi akan memunculkan tanggung jawab keluarga yang pada akhirnya akan berimbas pada kehidupan masyarakat dan berbegara. Sehingga untuk mewujudkan kesemua itu kita perlu memulai dari diri, keluarga, masyarakat dan negara.
            DAFTAR PUSTAKA
M. Asrori, Pendidikan Agama dan Kepribadian Anak. (Panji Masyarakat, 1-10 September 1991)
M.S.Abdul Halim, Fikih (Jakarta: PT. Listafarista Putra, 2005)

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya,(Jakarta: Daar al-Sunnah, 2007)

H.M. Asrorun Ni`am, Al-Qur’an Hadits, (Jakarta: Pena Nusantara, 2007)
Moh. Irfan, dkk., Pendidikan HAM, Modal Fundamental Bagi Anak Didik Indonesia, (Jakarta: CV. Fauzan Inti Kreasi, 2004)









E.     Peranan Keluarga, Masyarakat, Bangsa dan Negara Dalam Pembinaan Kepribadian Muslim.






[1] M. Asrori, Pendidikan Agama dan Kepribadian Anak. (Panji Masyarakat, 1-10 September 1991), h. 47.
[2] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: Daar al-Sunnah, 2007), h. 645.
[3] M. Asrori, loc. cit.
[4] Ibid., h. 48
[5] Departemen Agama RI. op. cit., h. 1064.
[6] M. Asrori, Pendidikan Agama dan Kepribadian Anak. (Panji Masyarakat, 1-10 September 1991), h. 48
[7] M.Asrori, loc. cit.
[8] Moh. Irfan, dkk., Pendidikan HAM, Modal Fundamental Bagi Anak Didik Indonesia, (Jakarta: CV. Fauzan Inti Kreasi, 2004), h. 1.
[9] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya,(Jakarta: Daar al-Sunnah, 2007), h. 951
[10] H.M. Asrorun Ni`am, Al-Qur’an Hadits, (Jakarta: Pena Nusantara, 2007), h. 18.
[11] Departemen Agama, op. cit., h. 492
[12] Ibid., h. 124
[13] M.S.Abdul Halim, Fikih (Jakarta: PT. Listafarista Putra, 2005), h. 1.
[14] Ibid., h. 2.
[15] Ibid., h. 2
[16] Ibid., h. 3
[17] Departemen Agama RI., op. cit., h. 553.
[18]M.S.Abdul Halim, loc. cit.
[19] Ibid., 4.
[20] Departemen Agama RI., op. cit., h. 685.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda