Metodologi Studi Islam, Peranan Keluarga...
TUGAS INDIVIDU
Mata kuliah : Metodologi Studi Islam
PERANAN KELUARGA, MASYARAKAT, BANGSA DAN NEGARA DALAM PEMBINAAN
KEPRIBADIAN MUSLIM
Disajikan dalam
Forum Seminar
Program Pascasarjana Universitas Islam Makassar
T.A 2010/2011
Oleh:
SYAMSUDDIN RASYID
NIM
: 10 062 052 023
Dosen
Pemandu:
Prof.
Dr. H.Mappanganro, M.A.
Dr. H. M. Arfah Siddiq, M.A.
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM MAKASSAR
2010
KATA
PENGANTAR
ÉOó¡Î0 «!$# Ç`»uH÷q§9$# ÉOÏm§9$#
Segala puji hanya
milik Allah, KepadaNya kita bersyukur dan atas RahmatNya kita dapat
menyelesaikan berbagai masalah kehidupan.
Dalam rangka
memenuhi amanah dan tanggung jawab sebagai seorang mahasiswa, maka kami
wujudkan sebuah makalah dengan judul Peranan
Keluarga, Masyarakat, Bangsa dan Negara Dalam Pembinaan Kepribadian Muslim. dengan tujuan menambah pengetahuan
para pembaca.
Kami menyadari
bahwa makalah ini masih jauh dari harapan dan kesempurnaan, seiring dengan
keterbatasan penulis. Dengan demikian kritik dan saran yang konstruktif akan
lebih berguna dalam menyempurnakan kekurangan dari makalah
ini.
Tak lupa kami
haturkan Jazakumullah Khaeran Atas segala bantuan dari berbagai pihak, terutama
dari Bapak Dosen pemandu Prof. Dr. H. Mappanganro, MA dan Bapak Dr. H. M. Arfah Siddiq, MA. serta rekan – rekan mahasiswa.
Akhirnya, mohon
maaf atas segala kekurangan yang ditemukan nantinya dalam makalah ini.
Makassar , November 2010
Penulis,
Syamsuddin Rasyid
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL…………………………………………………………… i
KATA PENGANTAR ……………………………………………………….... ii
DAFTAR ISI ……………………...……………………………………………
iii
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Masalah .......………………………………..... 1
B.
Rumusan Masalah
.…………………………………………….. 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Proses pembinaan Pribadi menurut Islam..................................4
B. Proses pembinaan keluarga menurut
Islam............……………6
C. Proses Pembinaan Masyarakat menurut Islam..........................9
D. Proses Pembinaan Negara dan Bangsa Menurut Islam...........11
BAB
III PENUTUP
A. Kesimpulan…………………………………….……..……..…18
B.
Saran-saran……………...……………………………….……19
DAFTAR PUSTAKA
…………………………………………………...……20
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Manusia
pada dasarnya dibekali dengan sifat-sifat Ilahiyah dan sekaligus hewaniyah.
Sifat-sifat ilahiyah itu merupakan pengejawantahan dari sfat-sifat Allah swt.
Yang terangkum dalam asmaul husnah, berjumlah 99 sifat. Hanya saja
kualitas kualitassifat-sifat ilahiyah yang dijelmakan ke dalam diri manusia itu
tentu lebih rendah, sesuai dengan kedudukannya sebagai makhluk. Sifat-sifat
inilah yang dalam psikologi dikenal dengan istilah potensi.[1]
atau dalam bahasa al-Qur’an disebut dengan fitrah. Hal ini sesuai dengan firman
Allah swt dalam Q.S. al-Ruum (30:31)
óOÏ%r'sù y7ygô_ur ÈûïÏe$#Ï9 $ZÿÏZym 4 |NtôÜÏù «!$# ÓÉL©9$# tsÜsù }¨$¨Z9$# $pkön=tæ 4 w @Ïö7s? È,ù=yÜÏ9 «!$# 4 Ï9ºs ÚúïÏe$!$# ÞOÍhs)ø9$# ÆÅ3»s9ur usYò2r& Ĩ$¨Z9$# w tbqßJn=ôèt ÇÌÉÈ
Terjemahnya:
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus
kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang Telah menciptakan manusia
menurut fitrah itu. tidak ada perubahan pada fitrah
Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.[2]
Dari ayat ini memberikan isyarat kepada manusia bahwa
agama yang diturunkan Allah melalui rasul-Nya, sesuai dengan fitrah atau
sifat-sifat semula kejadian manusia. Dengan sifat-sifat ilahiyah ini manusia
memiliki dorongan untuk mendekatkan diri kepada Sang Khaliknya, jika ini dibina
dengan baik, maka dapat berbuat kebajikan yang kemudian akan terwujud dalam
bentuk akhlaqul karimah (akhlak yang baik).[3]
Karena pada diri manusia ada potensi yang bisa
dikembangkan, sehingga mencapai taraf-taraf kesempurnaan. Namun di sisi lain
manusia juga punya potensi yang dapat mengakibatkan perilaku takabbur, sombong,
dengki, hasad, tidak memiliki belas kasihan terhadap orang lain, yang
kesemuanya ini akan membawa pelakunya berakhlak madzmumah, secara tidak sadar. [4]
Hal
seperti ini pula yang ditegaskan oleh Allah swt dala QS.Al-Syams (91:7-8)
<§øÿtRur $tBur $yg1§qy ÇÐÈ $ygyJolù;r'sù $yduqègéú $yg1uqø)s?ur ÇÑÈ
Terjemahnya:
7. Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya),
8. Maka Allah
mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya.[5
Oleh
karena kedua potensi yang telah
diberikan oleh Allah swt. kepada setiap manusia itu nampaknya sama kuat, maka
dari sinilah sehingga manusia butuh pembinaan dalam pengembangan potensinya
itu.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah
yang telah dikemukakan di atas, maka pemakalah merumuskan satu permasalahan
umum, yaitu: Bagaimana proses pembinaan pribadi, keluarga, masyarakat, bangsa
dan negara menurut Islam
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Proses Pembinaan Pribadi Menurut
Islam.
Setiap manusia memiliki potensi yang
dapat dikembangkan yaitu potensi
ketakwan dan potensi hewaniyah. Kedua potensi atau sifat dasar
tersebut berkembang secara revolusioner dalam pribadi manusia sesuai dengan irama
dan tempo perkembangan jiwanya. Kedua sifat dasar ini pula memiliki kekuatan
yang relatif seimbang dalam diri manusia.[6]
Namun demikian, manifestasinya ke dalam perilaku nyata amat bervariasi tergantung lebih condong ke
arah mana intervensi pengembangan kepribadian anak itu dilakukan.
Jika
intervensi kepribadian itu lebih condong kepada pengembangan sifat-sifat
ilahiyah, maka anak akan berkembang menjadi manusia muttaqin. Namun, jika lebih condong kepada pengembangan
sifat-sifat hewaniyah, maka ada kecenderungan anak untuk memancarkan perilaku
hewaniyah.
Untuk
mengembangkan potensi tersebut, manusia diberikan beberapa pilihan sebagai
jalan atau proses menuju kepada pencapaian kepribadian muslim. Di antaranya
adalah dengan proses pendidikan serta pengamalan nilai-nilai yang terkandung di
dalamnya.
Dari
hal tersebut menyiratkan betapa pentingnya sentuhan pendidikan. Karena
pendidikan berfungsi untuk meningkatkan
kualitas kepribadiannya dalam pengembangan sifat-sifat ilahiyah yang ada dalam
dirinya. Searah dengan itu Rasulullah saw. menyatakan lebih kongkrit dalam sabdanya
sebagai berikut:
Artinya:
Setiap bayi itu dilahirkan dengan membawa fitrah (potensi dasar), hanya ibu
bapaknyalah yang menjadikan Yahudi, Nasrani atau Majusi.
Kata
ibu bapaknya dalam hadits tersebut, bukan hanya orang tua kandung saja, tapi
juga dapat berarti guru, atau masyarakat sekitarnya, yang memungkinkan
terjadinya proses interaksi. Karena interaksi dengan orang-orang yang ada disekitarnya
itu akan merupakan infisible education (proses pendidikan yang kentara).[7]
Dengan
proses pendidikan, terlebih lagi pendidikan agama, memiliki fungsi untuk
memperhalus dan mengubah
sifat-sifat hewaniyah agar tidak terlalu seperti hewan pemunculannya dalam
perilaku. Melalui sentuhan pendidikan agama itu pula, berarti memproses
pembinaan kepribadian manusia dalam ikhtiarnya menjadi manusia yang muttaqin.
Dengan pondasi agama juga menjadi pemicu tumbuhnya hasrat kuat
untukmengembangkan seluas-luasnya sifat-sifat ilahiyah yang dimilikinya.
Pencapaian
sasaran yang hendak dicapai melalui pendidikan agama itu memerlukan proses
panjang, tidak ibarat meniup lampu aladin. Jika berbicara pendidikan agama bagi
seseorang, sebenarnya harus dimulai sejak dini, berawal dari fase pertama kali
memilih pasangan hidup untuk berkeluarga, berarti telah memproses kepribadian
muslim jauh-jauh sebelum anak dilahirkan. Menjatuhkan pilihan pasangan hidup
dalam berkeluarga, sebenarnya menyiratkan pemikiran hendak dibawa kemana anak
yang dilahirkan sebagai buah hatinya kelak dikemudian hari. Jika pemilihan
calon pasangan hidup yamg dilandasi oleh pertimbangan agama merupakan tonggak
pendidikan agama yang pertama bagi anak, maka tonggak kedua adalah peristiwa
kelahiran anak itu. Anak yang dilahirkan akan memperoleh pengalaman melalui
pendengaran, penglihatan, perilaku, dan sikap orang tuanya yang dihayati dan
direkam oleh anak.
Bila
hal tersebut di atas terabaikan, maka boleh jadi kita telah membuat kesalahan
fatal, yakni kesalahan dalam membentuk kepribadian bagi generasi penerus agama,
bangsa dan negara. Harus diyakini bahwa
kesalahan dalam membentuk kepribadian anak merupakan kejahatan paling nista,
sebab hal itu dapat mengakibatkan terjadinya kehancuran perjalanan hidup dan
masa depan anak. “Mutiara hati” yang tercemar kepribadiannya ini dapat menjadi
anak bangsa yang perilaku-perilakunya merugikan diri, orang tua, masyarakat dan
negaranya.[8]
B.
Proses pembinaan
keluarga menurut Islam.
Keluarga
dan rumah tangga merupakan pangkalan yang aman dan tambatan yang kokoh bagi
setiap anggota keluarga. Ayah, ibu dan anak-anak merupakan suatu basis yang
didambakan teratur dan harmonis, maka seluruh anggota keluarga berkumpul untuk
berkomunikasi memperbincangkan baik hal-hal yang menggembirakan maupun
kesulitan-kesulitan hidup yang dihadapi. Keluarga merupakan suatu kesatuan
masyarakat terkecil yang mempunyai motivasi dan tujuan hidup tertentu.
Dengan
demikian proses pembinaan keluarga menurut Islam yaitu setiap anggota; ayah,
ibu dan anak-anak mempunyai fungsi dan tanggung jawab yang saling mengisi, baik
untuk eksistensi dan keselamatan persekutuan hidup, maupun persiapan para
remaja yang nantinya akan melepaskan diri dari keluarga besar. Selanjutnya
membentuk keluarga baru.
Tanggung
jawab manusia terhadap diri dan keluarganya telah diatur di dalam ajaran agama
Islam, sebagaimana tercantum dalam QS. Al-Tahrim (66 :6)
$pkr'¯»t
tûïÏ%©!$#
(#qãZtB#uä
(#þqè%
ö/ä3|¡àÿRr&
ö/ä3Î=÷dr&ur
#Y$tR
$ydßqè%ur
â¨$¨Z9$#
äou$yfÏtø:$#ur
$pkön=tæ
îps3Í´¯»n=tB
ÔâxÏî
×#yÏ©
w tbqÝÁ÷èt
©!$#
!$tB
öNèdttBr&
tbqè=yèøÿtur
$tB
tbrâsD÷sã
ÇÏÈ
Terjemahannya;
Hai orang-orang
yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan
bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar,
keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada
mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.[9]
Dari seruan ini dapat dipahami bahwa
Allah memerintahkan orang-orang yang beriman agar menjaga dirinya dari api
neraka yang bahan bakarnya terdiri dari manusia dan batu. Menjaga diri itu
dengan cara taat dan patuh melaksanakan perintah Allah swt. Selanjutnya
mengajarkan hal yang sama kepada keluarganya.
Menurut H.M.Asrorun Ni`am Shaleh bahwa
pengakuan beriman kepada Allah swt. saja belumlah cukup, apabila tidak diikuti
dengan upaya memelihara diri agar terbebas dari siksa api neraka yang sangat
panas dan dahsyat itu. Jadi tuntutan untuk menanamkan dan mengokohkan keimanan
itu dimulai dari rumah tangga. Sebab dari rumah tangga terbentuk umat dan dalam
umat akan tegak masyarakat Islam.[10]
Dengan demikian tanggung jawab
seorang muslim terhadap diri sendiri adalah dengan menaati dan melaksanakan
semua bentuk aturan dan kewajiban, baik berupa peraturan sosial, sekolah,
peraturan pemerintah, terlebih peraturan agama.
Seorang muslim yang hakiki akan
selalu melaksanakan semua kewajiban yang diajarkan agamanya dan selalu
meningkatkan nilai ketakwaannya. Sebab perilaku baik dan buruk itu tergantung
padabaik dan tidaknya seseorang menjalankan ajaran agamanya. Semakin baik
seseorang menjalankan agama maka semakin baik pula perilaku kesehariannya.
Demikian pula sebaliknya.
Selain memiliki tanggung jawab
terhadap dirinya, seorang muslim juga memiliki tanggung jawab terhadap
keluarganya. Seorang muslim berkewajiban membahagiakan keluarganya, memenuhi
kebutuhannya, memperhatikan dan mengontrol setiap kewajiban agama yang harus
dilaksanakan. Hal ini semakin dipertegas oleh Allah swt dalam QS. Thaha ayat (20:132)
öãBù&ur y7n=÷dr& Ío4qn=¢Á9$$Î/ ÷É9sÜô¹$#ur $pkön=tæ ( w y7è=t«ó¡nS $]%øÍ ( ß`øtªU y7è%ãötR 3 èpt6É)»yèø9$#ur 3uqø)G=Ï9 ÇÊÌËÈ
Terjemahnya:
Dan
perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan Bersabarlah kamu dalam
mengerjakannya. kami tidak meminta rezki kepadamu, kamilah yang memberi rezki
kepadamu. dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa.[11]
Ayat
ini menyatakan bahwa setiap orang memiliki tanggung jawab untuk menyuruh
keluarganya menegakkan shalat agar tidak terpengaruh oleh kekayaan dan
kenikmatan dunia. Amanat Allah ini merupakan bekal bagi manusia untuk melakukan
perjuangan hidup di muka bumi. Seseorang yang ingin sesuai dengan ajaran Islam,
maka ia terlebih dahulu harus menjalin hubungan dengan khaliqnya. Dengan
kata lain bahwa proses pembinaan keluarga menurut Islam ialah dengan cara
mengajarkan hal-hal yang berkaitan dengan kewajiban terhadap penciptanya, serta
tidak melupakan kewajiban terhadap sesama makhluk. Yakni tetap mengerjakan
shalat dan memperkokoh batin dengan sifat tabah dan sabar dalam menghadapi
cobaan hidup dan godaan kekayaan, pangkat dan kedudukan.
C.
Proses pembinaan masyarakat menurut Islam.
Sebagaimana telah disinggung pada bagian
depan bahwa Islam mengajarkan proses pembinaan terhadap diri pribadi, pembinaan
terhadap keluarga, demikian pula dengan pembinaan terhadap masyarakat secara
keseluruhan. Hal ini dapat dipahami dari firman Allah swt. dalam QS. Al-Nisa`
ayat (4:36)
(#rßç6ôã$#ur
©!$#
wur
(#qä.Îô³è@
¾ÏmÎ/
$\«øx©
( Èûøït$Î!ºuqø9$$Î/ur
$YZ»|¡ômÎ)
ÉÎ/ur
4n1öà)ø9$#
4yJ»tGuø9$#ur
ÈûüÅ3»|¡yJø9$#ur
Í$pgø:$#ur
Ï
4n1öà)ø9$#
Í$pgø:$#ur
É=ãYàfø9$#
É=Ïm$¢Á9$#ur
É=/Zyfø9$$Î/
Èûøó$#ur
È@Î6¡¡9$#
$tBur
ôMs3n=tB
öNä3ãZ»yJ÷r&
3 ¨bÎ)
©!$#
w =Ïtä
`tB
tb%2
Zw$tFøèC
#·qãsù
ÇÌÏÈ
Terjemahnya:
Sembahlah Allah
dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. dan berbuat baiklah
kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin,
tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh dan teman sejawat, ibnu sabil dan
hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan
membangga-banggakan diri.[12]
Ayat ini merupakan prinsip kehidupan
yang harus dipegang teguh oleh setiap manusia. Dalam ayat al-qur`an ini
terkandung bimbingan dan tuntunan pola
hidup yang harus dijalankan oleh manusia sehingga aktivitas kehidupan manusia
tidak menyimpang dari ketentuan Allah swt. Ayat ini juga menjelaskan bahwa
manusia juga memiliki tanggung jawab lain, yaitu berbuat baik kepada kedua
orang tua, kerabat, teman, anak yatim, fakir miskin, tetangga dan semua orang
yang ada disekitarnyauni anak-anak yatim, membantu memenuhi kebutuhjan fakir
miskin, . Umat Islam yang komitmen dengan keislamannya tentu akan selalu
menginfakkan sebagian hartanya untuk orang-orang yang membutuhkan, seperti
menyant dan lain sebagainya. Hal seperti ini adalah suatu proses pembinaan
masyarakat menurut Islam. Karena dengan membiasakan masyarakat untuk berbuat
baik, berarti dengan sendirinya mereka melawan sifat-sifat yang tidak sesuai
dengan ajaran Islam.
Selain tanggung jawab sosial,
manusia juga memiliki tanggung jawab terhadap lingkungan sekitarnya. Manusia
juga diperintahkan untuk menjaga dan melestarikan lingkungan, seperti
mengurangi pencemaran lingkungan, dan harus melestarikan lingkungan,
memanfaatkan sumber daya alam secara baik.
Jelaslah bahwa Islam mengajarkan
kepada umatnya agar memperhatikan kehidupan sosial kemasyarakatan. Dalam bahasa
yang lebih jelas bahwa Islam membina umatnya untuk tetap melaksanakan ajarannya
yang berhubungan dengan khaliqnya, serta tidak melupakan ajaran yang
berhubungan dengan sesama makhluk, terutama manusia.
D.
Proses pembinaan negara dan bangsa
menurut Islam.
Salah
satu proses pembinaan negara dan bangsa menurut Islam adalah dengan membentuk
pemerintahan yang bermodel khilafah. Sekalipun agak sulit diterima oleh sebahagian
negara Barat, karena dianggap tidak mempunyai dasar yang kuat di dalam
al-Qur`an, seperti yang ditulis bahkan juga termasuk sebahagian umat Islam
bahwa salah satu bentuk pemerintahan yang dikenal dalam Islam adalah khilafah.
Namun harus diakui bahwa khilafah ini adalah suatu sistim pemerintahan yang di dalamnya terbentuk susunan pemerintahan yang diatur
menurut ajaran Islam, di mana aspek-aspek yang berkenaan dengan pemerintahan
seluruhnya berlandaskan ajaran Islam.[13] Dalam pengertian lain bahwa khilafah
adalah pengganti atau wakil Allah untuk melaksanakan undang-undang-Nya di muka
bumi, sekaligus melanjutkan kepemimpinan Rasulullah dalam urusan keduniaan
maupun keakhiratan.[14]
Bentuk
khilafah yang benar-benar murni berlandaskan hukum-hukum Al-Quran dan Sunnah
pernah dilaksanakan pada masa Rasulullah SAW. dan masa Khulafa`al-Rasyidin,
dimana hukum-hukum al-Quran dan sunnah benar-benar diikuti dan ditaati secara
konsisten oleh seluruh kaum muslimin.
Khilafah
dapat diwujudkan dan ditegaskan oleh umat Islam sendiri dan tidak mungkin hal
itu terwujud tanpa kemauan dan kehendak dari umat Islam yang bersangkutan.
Adanya khilafah
memang sangat dibutuhkan oleh umat Islam, sebab menyangkut segala aspek
kehidupan umat Islam sendiri. Tanpa adanya khilafah, kehidupan bersama umat Islam
tidak akan teratur, kemakmuran bersama tidak akan tercapai, bahkan eksistensi Islam
dan umatnya dapat terancam.
Akan
tetapi kehidupan umat manusia di dunia ini sudah sangat majemuk, sehingga
terkadang sangat sulit untuk dicarikan kesepakatan yang bulat mengenai bentuk
negara, apalagi yang menyangkut idiologi. Maka dalam kehidupan masyarakat Islam
dewasa ini dalam bernegara, konsep khulafa Islam atau negara Islam mengandung
dua pengertian yang berbeda, yaitu:
1.
Negara Islam, yaitu negara yang sumber
hukum atau undang-undangnya Al-Quran dan sunnah dan dilaksanakan secara
konsisten.
2.
Negara Islam dalam arti negara yang mayoritas
penduduknya beragama islam, undang-undangnya tidak secara eksplisif berdasarkan
Al-Quran dan sunnah, tetapi umat islam dalam menjalankan agama islam dengan
sebaik-baiknya. Misalnya negara-negara Arab, Malaysia, Iran, Brunei Darussalam,
dan negara anggota OKI (Organisasi Konferensi Islam).[15]
Dua
bentuk pemerintahan diatas nampaknya relevan dengan kenyataan yang berlaku di
negara-negara islam sekarang. Bentuk pertama diterapkan di negara yang struktur
masyarakatnya tunggal, sedangkan bentuk kedua diterapkan pada negara yang
masyarakatnya majemuk. Indonesia yang berasaskan pancasila dapat dikelompokkan
dalam bentuk yang kedua.[16] Beberapa
unsur yang terkait dengan khilafah dapat dijabarkan sebagai berikut :
a.
Dasar- Dasar Khilafah
Khilafah adalah masalah
yang prinsip, karena menyangkut eksistensi agama Islam dan umatnya. Telah sepakat umat
islam (ijma’yang mu’tabar), bahwa hukum mendirikan
khilafah fardhu kifayah atas semua umat Islam.
Alasannya adalah:
1.
Ijma` sahabat. Mereka mendahulukan
permusyawaratan khulafa` daripada urusan jenazah Rasulullah saw.. ketika itu ramai dibicarakan soal
khulafa oleh pemimipin-pemimpin Islam berupa perdebatan dan pertimbangan.
Akhirnya tercapai kata sepakat untuk memilih Abu Bakar Al-Shiddiq sebagai
khalifah, kepala negara Islam
yang pertama setelah Rasulullah saw. meninggal.
2.
Sulit dapat menyempurnakan kewajiban;
seperti melaksanakan hukum-hukum islam, menjaga keamanan, membela agama dan
lain-lain, tanpa adanya khilafah.
3.
Nash Al-Quran dan Al-Hadist yang
memerintahkan untuk mendirikan khilafah serta janji Allah berupa kebaikan yang
akan diberikan kepada orang-orang yang mentaatinya. Hal ini dapat dipahami dari Firman Allah swt. dalam
QS.al-Nur (24:
55)
ytãur
ª!$#
tûïÏ%©!$#
(#qãZtB#uä
óOä3ZÏB
(#qè=ÏJtãur
ÏM»ysÎ=»¢Á9$#
óOßg¨ZxÿÎ=øÜtGó¡us9
Îû
ÇÚöF{$#
$yJ2
y#n=÷tGó$#
úïÏ%©!$#
`ÏB
öNÎgÎ=ö6s%
£`uZÅj3uKãs9ur
öNçlm;
ãNåks]Ï
Ï%©!$#
4Ó|Ós?ö$#
öNçlm;
Nåk¨]s9Ïdt7ãs9ur
.`ÏiB
Ï÷èt/
öNÎgÏùöqyz
$YZøBr&
4 ÓÍ_tRrßç6÷èt
w cqä.Îô³ç
Î1
$\«øx©
4 `tBur
txÿ2
y֏t/
y7Ï9ºs
y7Í´¯»s9'ré'sù
ãNèd
tbqà)Å¡»xÿø9$#
Terjemahnya:
Dan Allah Telah
berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan
amal-amal yang saleh bahwa dia sungguh- sungguh akan menjadikan mereka berkuasa
dimuka bumi, sebagaimana dia Telah menjadikan orang-orang sebelum mereka
berkuasa, dan sungguh dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang Telah
diridhai-Nya untuk mereka, dan dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka,
sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. mereka tetap
menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. dan
barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, Maka mereka Itulah
orang-orang yang fasik.[17]
Sistem pemerintahan pada masa Rasulullah saw dibangun
berdasarkan prinsip-prinsip Islam yaitu:
1. Kejujuran
dan keikhlasan serta bertanggung jawab dalam menyampaikan amanah kepada ahlinya
(rakyat) dengan tigak membeda-bedakan ras dan warna kulit.
2. Keadilan
yang mutlak terhadap segala lapisan masyarakat.
3. Persatuan
atau ukhuwah islamiyah.
4. Tauhid (mengesakan Allah) sebagaimana diperintahkan
dalam ayat-ayat Al-Quran supaya menaati Allah dan Rasul-Nya.
5. Kedaulatan
rakyat, yang dapat dipahami dari perintah Allah yang mewajibkan kita taat
kepada Ulil Amri (wakil-wakil rakyat).[18]
b.
Tujuan Khilafah
Adanya
khilafah atau pemerintahan dalam Islam bukan menjadi tujuan, tapi hanya sebagai
alat untuk mencapai tujuan. Adapun tujuan khilafah
adalah :
1.
Terciptanya kehidupan beragama yang
mantap pengamalannya dengan segala aspek kehidupan ummat, baik dalam kehidupan
pribadi, masyarakat dan negara.
2.
Terwujudnya kehidupan masyarakat yang
adil, makmur dan sentosa. Terwujud kemakmuran diseluruh kehidupan masyarakat.
Masyarakat merasa aman dan tentram, serta jauh dari rasa ketakutan dan
kekhawatiran, baik yang berasal dari bangsanya sendiri maupun dari luar
bangsanya.[19]
Dua
tujuan di atas merupakan tujuan pokok berdirinya khilafah. Di satu sisi, agama
Islam dapat tumbuh dan berkembang dengan baik dan di sisi lain umat Islam
memperoleh kebahagiaan lahir dan batin. Dan tujuan ini sebagaimana disebutkan
dalam al-Qur`an, yaitu: Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur,
firman-Nya dalam QS. Saba`(34:15);
ôs)s9
tb%x.
:*t7|¡Ï9
Îû
öNÎgÏYs3ó¡tB
×pt#uä
( Èb$tG¨Yy_
`tã
&ûüÏJt
5A$yJÏ©ur
( (#qè=ä.
`ÏB
É-øÍh
öNä3În/u
(#rãä3ô©$#ur
¼çms9
4 ×ot$ù#t/
×pt6ÍhsÛ
;>uur
Öqàÿxî
ÇÊÎÈ
Terjemahannya :
Sesungguhnya
bagi kaum Saba' ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka yaitu dua
buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (kepada mereka dikatakan):
"Makanlah olehmu dari rezki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah
kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan
yang Maha Pengampun".[20]
Dalam ayat ini jelas bahwa untuk menciptakan negeri yang
aman, adil, makmur dan sejahtera maka harus ditunjukkan dengan kondisi
masyarakat yang beriman dan mengikuti parintah dan aturan Allah SWT, sehingga
terhadap penduduk tersebut akan dilimpahkan berkah baik dari langit maupun dari
bumi. Sebaliknya suatu masyarakat yang ingkar kepada Allah swt, maka pada
masyarakat itu akan ditimpakan berbagai macam musibah. Musibah ini bukan hanya
dirasakan oleh orang-orang yang melakukan keingkaran dan kemaksiatan akan
tetapi juga bagi orang-orang yang beriman disisi mereka, walaupun bagi orang
yang beriman tersebut disebut ujian.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian yang
dikemukakan, maka dapatlah ditarik
kesimpulan sebagai berikut :
1.
Proses pembinaan pribadi menurut Islam,
yaitu dengan menaati segala yang diperintahkan oleh Allah swt. dan menjauhi
segala yang dilarang-Nya.
2.
Proses pembinaan keluarga menurut Islam dimulai dengan memperbaiki diri, mencari pasangan hidup
yang berasal dari orang-orang yang beriman, didalam keluarga masing-masing subyek
menjalankan fungsi dan tanggungjawab serta memberikan pendidikan terhadap anak
yang diawali dengan menjadikan teladan pada diri orang tua. Selain pendidikan
yang dilakukan dalam keluarga, orang tua juga harus mencarikan lingkungan yang
kondusif bagi perkembangan mental/psikologi serta pendidikan formal yang tepat.
3.
Proses pembinaan masyarakat adalah dengan
membantu memenuhi kebutuhan fakir miskin, menyantuni anak yatim, membantu karib kerabat serta para
tetangga dan juga kepada manusia yang lain harus memperlihatkan akhlak yang
baik.
4.
Bangsa
dan negara memiliki peran yang sangat penting dalam pembinaan masyarakat Islami.
Peranan tersebut dapat diaktualisasikan mesti betuk negara tersebut belum
menjadi negara Islam, tetapi prinsip-prinsip ajaran Islam dapat dilakukan oleh
pemimpin-pemimpin negara beserta masyarakat Islam yang mayoritas. Negara yang
majemuk seperti Indonesia ini perlu memikirkan cara yang strategis dalam upaya
pelaksanaan syariat Islam bagi para pemeluk Islam.
B.
Saran-saran
Dalam
membangun masyarakat yang mengharapkan keberkahan Allah swt, maka kehidupan
harus dilandaskan pada ajaran-ajaran Islam. Untuk mewujudkan pelaksanaan ajaran
Islam maka kesadaran pribadi menjadi
individu yang muttaqin harus diaktualisasikan dengan pengamalan ajaran Islam sebagai
menjadi pondasi dasar. Dari kesadaran pribadi akan memunculkan tanggung jawab
keluarga yang pada akhirnya akan berimbas pada kehidupan masyarakat dan
berbegara. Sehingga untuk mewujudkan kesemua itu kita perlu memulai dari diri,
keluarga, masyarakat dan negara.
DAFTAR PUSTAKA
M. Asrori, Pendidikan Agama dan
Kepribadian Anak. (Panji Masyarakat, 1-10 September 1991)
M.S.Abdul
Halim, Fikih (Jakarta: PT. Listafarista Putra, 2005)
Departemen
Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya,(Jakarta: Daar al-Sunnah, 2007)
H.M. Asrorun Ni`am, Al-Qur’an Hadits,
(Jakarta: Pena Nusantara, 2007)
Moh. Irfan, dkk., Pendidikan HAM,
Modal Fundamental Bagi Anak Didik Indonesia, (Jakarta: CV. Fauzan Inti
Kreasi, 2004)
E. Peranan
Keluarga, Masyarakat, Bangsa dan Negara Dalam Pembinaan Kepribadian Muslim.
[1]
M. Asrori, Pendidikan Agama dan Kepribadian Anak. (Panji Masyarakat,
1-10 September 1991), h. 47.
[2]
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: Daar al-Sunnah,
2007), h. 645.
[3]
M. Asrori, loc. cit.
[4]
Ibid., h. 48
[5]
Departemen Agama RI. op. cit., h. 1064.
[6]
M. Asrori, Pendidikan Agama dan Kepribadian Anak. (Panji Masyarakat,
1-10 September 1991), h. 48
[7]
M.Asrori, loc. cit.
[8]
Moh. Irfan, dkk., Pendidikan HAM, Modal Fundamental Bagi Anak Didik
Indonesia, (Jakarta: CV. Fauzan Inti Kreasi, 2004), h. 1.
[9]
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya,(Jakarta: Daar al-Sunnah, 2007),
h. 951
[10]
H.M. Asrorun Ni`am, Al-Qur’an Hadits, (Jakarta: Pena Nusantara, 2007),
h. 18.
[11]
Departemen Agama, op. cit., h. 492
[12]
Ibid., h. 124
[13]
M.S.Abdul Halim, Fikih (Jakarta: PT. Listafarista Putra, 2005), h. 1.
[14]
Ibid., h. 2.
[15]
Ibid., h. 2
[16]
Ibid., h. 3
[17]
Departemen Agama RI., op. cit., h. 553.
[18]M.S.Abdul
Halim, loc. cit.
[19]
Ibid., 4.
[20]
Departemen Agama RI., op. cit., h. 685.
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda