Rabu, 14 Maret 2012

KONSEP FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Manusia lahir tanpa memiliki pengetahuan apa pun, tetapi ia telah dilengkapi dengan fitrah yang memungkinkannya untuk menguasai berbagai pengetahuan dan peradaban. Dengan memfungsikan fitrah itulah ia belajar dari lingkungan dan masyarakat orang dewasa yang mendirikan institusi pendidikan. Kondisi awal individu dan proses pendidiknnya tersebut diisyaratkan oleh Allah di dalam firman-Nya QS Al-Nahl (16: 78), sebagai berikut:
ª!$#ur Nä3y_t÷zr& .`ÏiB ÈbqäÜç/ öNä3ÏF»yg¨Bé& Ÿw šcqßJn=÷ès? $\«ø‹x© Ÿ@yèy_ur ãNä3s9 yìôJ¡¡9$# t»|Áö/F{$#ur noy‰Ï«øùF{$#ur   öNä3ª=yès9 šcrãä3ô±s? ÇÐÑÈ  
Terjemahnya: “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan dia memberi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati agar kamu bersyukur”[1]
            Masyarakat primitifpun memiliki kondisi yang serupa dengan individu manusia yang baru lahir. Mereka pada mulanya tidak berperadaban. Namun melalui proses belajar dengan mengikuti pola-pola dan norma-norma sosial, menlibatkan diri pada ideologi dan sistem nilai, serta terlibat dalam aktifitas saling menukar pengetahuan dan pengalaman, mereka kemudian menjadi masyarakat yang berperadaban dan beradab.
            Pendidikan merupakan persoalan penting bagi semua umat. Pendidikan selalu menjadi tumpuan harapan untuk mengembangkan individu dan masyarakat. Memang pendidikan merupakan alat untuk memajukan peradaban, mengembangkan masyarakat, dan membuat generasi mampu berbuat banyak bagi kepentingan mereka.
            Pendidikan mengembangkan peradaban melalui pengembangan ilmu dan pengetahuan secara terus menerus sejalan dengan visi dan misi hidup umat. Pendidikan juga memberikan sahamnya bagi pemecahan berbagai masalah sosial kontemporer dengan melatih generasi muda untuk berfikir sehat dengan metode ilmiah yang kuat. Pelatihan tersebut dimaksudkan agar segala aktifitas mereka di dalam masyarakat bersifat orisinal; dalam arti bukan impor atau tentative, melainkan lahir dari tradisi yang diadaptasi secara koordinatif dengan berbagai realitas perkembangan zaman. Cara demikian membutuhkan filsafat pendidikan yang dapat menjamin jati diri dan kepribadian umat. Filsafat pendidikan yang dapat menjamin tersebut tiada lain harus bersumber pada ajaran Islam sehingga dibingkai dalam filsafat pendidikan Islam. Dengan demikian, perubahan sosial akan selalu menuju ke arah yang lebih baik, berbagai rintangan akan dapat diatasi, serta ketergelinciran dan lompatan yang menyimpang jauh dijamin tidak akan terjadi.
B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian tersebut di atas maka penulis memberikan rumusan dalam makalah ini meliputi:
1.      Bagaimana pengertian Filsafat Pendidikan Islam?
2.      Bagaimana ruang lingkup Filsafat Pendidikan Islam?
3.      Bagaimana perkembangan Filsafat Pendidikan Islam?
BAB II
PEMBAHASAN
A.      Konsep Filsafat Pendidikan Islam
Hubungan antara filsafat dan pendidikan ibarat hubungan dua sisi mata uang, yaitu dua aspek dari hakekat yang satu, sebab pendidikan pada hakikatnya merupakan aplikasi praktis dari filsafat.  Pendidikan, untuk dapat berfungsi dengan baik memerlukan definisi yang tegas tentang tujuan, nilai dan teorinya. Pendefinisian tersebut adalah tugas utama filsafat.
Filsafat telah berkembang dari sekedar cinta terhadap pengetahuan atau kebijakasanaan menjadi berfikir sistematis tentang ontologi, epistemologi dan aksiologi; dari bersandar pada mazhab-mazhab eksklusif dan sistem-sistem yang kaku menjadi bersandar pada mazhab-mazhab inklusif dan sistem-sistem yang elastis. Pendek kata, filsafat merupakan khazanah umat manusia yang berisi perkembangan kemajuan manusia menuju kematangannya.
Filsafat telah dipahami dengan pemahaman yang berbeda-beda. Mula-mula filsafat diartikan sebagai “kebijaksanaan hidup”, kemudian dipandang sekedar “keheranan” atau bertanya-tanya. Sementara ada yang mendefinisikan filsafat sebagai “bagian dari keyakinan”, dan yang lain sebagai “pandangan menyeluruh terhadap segala sesuatu.” Ada pula yang memandang filsafat sekedar “perubahan fikiran” atau sekedar “analisis kebahasaan” dan ada yang mengatakan bahwa “filsafat ialah deskripsi tentang pengalaman”[2]
Dari rahim filsafat, ilmu lahir. Kemudian setelah metode-metodenya mencapai kesempurnaan, ilmu (masing-masing sesuai kekhususannya) memisahkan diri dari induknya. Namun kebutuhan akan filsafat masih ada dan bertambah terus. Sebab, dengan posisinya sebagai sumber pokok setiap pemahaman teoritis tentang alam, filsafat merupakan sumber pokok pula bagi penguasaan terhadap lingkungan.
Pendidikan - kata ini juga diletakkan kepada Islam - telah didefinisikan secara berbeda-beda oleh berbagai kalangan, yang banyak dipengaruhi oleh pandangan dunia masing-masing. Namun, pada dasarnya semua pandangan yang berbeda itu bertemu dalam sebuah kesimpulan awal, bahwa pendidikan merupakan suatu proses penyiapan generasi muda untuk menjalankan kehidupan dan memenuhi tujuan hidupnya secara lebih efektif dan efisien.[3]
Pendidikan lebih dari sekedar pengajaran; yang terakhir ini dapat dikatakan sebagai suatu transfer ilmu belaka, bukan transformasi nilai dan pembentukan kepribadian dengan segala aspek yang dicakupnya. Dengan demikian pengajaran lebih berorientasi pada pembentukan “tukang-tukang” atau para spesialis yang terkurung dalam ruang spesialisasinya yang sempit, karena itu, perhatian dan minatnya lebih bersifat teknis.
Perbedaan pendidikan dengan pengajaran terletak pada penekanan pendidikan terhadap pembentukan kesadaran dan kepribadian anak didik. Di samping transfer ilmu dan keahlian. Dengan proses semacam ini suatu bangsa atau Negara dapat mewariskan nilai-nilai keagamaan, kebudayaan, pemikiran dan keahlian kepada generasi mudanya, sehingga mereka betul-betul siap menyongsong kehidupan. Ki Hajar Dewantara, tokoh pendidikan nasional Indonesia menyatakan; Pendidikan pada umumnya berarti daya upaya untuk memajukan budi pekerti (kekuatan batin), pikiran (intelek) dan jasmani anak-anak, selaras dengan alam dan masyarakatnya.[4]
Secara lebih filosofis Muhammad Natsir dalm tulisan “Idiologi Didikan Islam” menyatakan; “Yang dinamakan pendidikan, ialah suatu pimpinan jasmani dan ruhani menuju kesempurnaan dan kelengkapan arti kemanusiaan dengan arti sesungguhnya”.[5]
Pengertian pendidikan secara umum yang kemudian dihubungkan dengan Islam – sebagai suatu sistem kelembagaan menimbulkan pengertian-pengertian baru, yang secara implisit menjelaskan karakteristik-karakteristik yang dimilikinya. Pengertian pendidikan dengan seluruh totalitasnya dalam konteks Islam inheren dalam konotasi istilah “tarbiyah”, “ta’lim” dan “ta’dib” yang harus dipahami secara bersama-sama.[6] Ketiga istilah ini mengandung makna yang amat dalam menyangkut manusia dan masyarakat serta lingkungan yang dalam hubungannya dengan Tuhan saling berkaitan satu sama lain.
Dalam rangka yang lebih rinci, M.Yusuf al-Qardhawi memberikan pengertian bahwa “Pendidikan Islam adalah pendidikan manusia seutuhnya; akal dan hatinya; rohani dan jasmaninya; akhlak dan keterampilannya. Karena itu pendidikan Islam menyiapkan manusia untuk hidup baik dalam keadaan damai maupun perang, dan menyiapkannya untuk menghadapi masyarakat dengan segala kebaikan dan kejahatannya, manis dan pahitnya”.[7]
Sementara itu, Hasan Langgulung merumuskan pendidikan Islam sebagai suatu “proses penyiapan generasi muda untuk mengisi peranan, memindahkan pengetahuan dan nilai-nilai Islam yang diselaraskan dengan fungsi manusia untuk beramal di dunia dan memetik hasilnya diakhirat”.[8] Di sini pendidikan Islam merupakan suatu proses pembentukan individu berdasarkan ajaran-ajaran Islam yang diwahyukan Allah Swt. Kepada Nabi Muhammad Saw. Melalui proses mana individu dibentuk agar dapat mencapai derajat yang tinggi sehingga ia mampu menunaikan tugasnya sebagai khalifah dimuka bumi, yang dalam kerangka lebih lanjut mewujudkan kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Tegasnya, senada dengan apa yang dikemukakan Ahmad D. Marimba, bahwa; “Pendidikan Islam adalah bimbingan jasmani dan rohani menuju kepada terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam”.[9]
Semua pengertian di atas lebih global sifatnya. Secara lebih teknis Endang Saifuddin Anshari memberikan pengertian pendidikan Islam sebagai “proses bimbingan (pimpinan, tuntutan, usulan) oleh subyek didik terhadap perkembangan jiwa (pikiran, perasaan, kemauan, intuisi dan sebagainya) dan raga obyek didik dengan bahan-bahan materi tertentu, pada jangka waktu tertentu, dengan metode tertentu dan dengan alat perlengkapan yang ada kearah terciptanya pribadi tertentu disertai evaluasi sesuai dengan ajaran Islam.[10]
Jika dikaji lebih jauh, dibalik semua pengertian pendidikan Islam di atas terkandung pandangan-pandangan dasar Islam berkenaan dengan manusia dan signifikansi ilmu pengetahuan. Manusia, menurut Islam, adalah makhluk Allah yang paling mulia dan unik. Ia terdiri dari jiwa dan raga-yang masing-masing mempunyai kebutuhannya tersendiri. Manusia dalam pandangan Islam adalah makhluk rasional, sekaligus pula mempunyai hawa nafsu kebinatangan. Ia mempunyai organ-organ kognitif semacam hati (qalb), intelek (aql) dan kemampuan-kemampuan fisik, intelektual, pandangan kerohanian, pengalaman dan kesadaran. Dengan berbagai potensi semacam itu, manusia dapat menyempurnakan kemanusiaannya sehingga menjadi pribadi yang dekat dengan Tuhan. Tetapi sebaliknya ia dapat pula menjadi makhluk yang paling hina karena dibawa kecenderungan-kecenderungan hawa nafsu dan kebodohannya.[11]
Berdasarkan uraian pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa filsafat pendidikan Islam adalah suatu konsep ilmu yang bersumber dari Islam yang menjadikan alam, manusia dan kehidupan didasarkan pada ajaran Islam. Hubungan antara Filsafat dan pendidikan Islam bahwa keduanya memiliki kesamaan dalam objek dan perbedaan dalam metode. “Objek” pendidikan adalah manusia seutuhnya, demikian juga bagi filsafat manusia merupakan pusat segala objeknya.

B.       Ruang Lingkup Filsafat Pendidikan Islam
Pendidikan Islam memiliki karakteristik yang membuatnya unik di tengah-tengah pendidikan yang lain. Baik yang tradisional maupun yang modern, Sebagian karakteristik tersebut berkaitan dengan filsafat yang melandasinya, sebagian lain dengan metode serta dengan prosesnya.
Ada tiga prinsip yang membentuk karakteristik asasi filsafat pendidikan Islam. Tiga prinsip tersebut menafsirkan konsep Islam tentang alam, manusia dan kehidupan, yaitu penciptaan yang bertujuan, kesatuan yang menyeluruh, dan keseimbangan yang kokoh.
1.      Penciptaan yang bertujuan
Dalam pandangan Islam, pendidikan merupakan proses yang suci untuk mewujudkan tujuan asasi hidup, yaitu beribadah kepada Allah dengan segala maknanya yang luas. Dengan demikian pendidikan merupakan bentuk tertinggi ibadah dalam Islam dengan alam sebagai lapangannya, manusia sebagai pusatnya dan hidup beriman sebagai tujuannya. Dalam al-Quran Q.S. al-Dzariyat, (51:56) Allah Swt. Berfirman:
$tBur àMø)n=yz £`Ågø:$# }§RM}$#ur žwÎ) Èbr߉ç7÷èu‹Ï9 ÇÎÏÈ  
Terjemahnya: “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku”[12]
Ibadah dalam Islam memiliki konsep yang luas, baik dari segi isi, waktu ataupun tempat. Dari segi isi pada prinsipnya setiap perbuatan orang mukmin yang ditujukan untuk mencapai keridaan Allah termasuk dalam pengertian ibadah salah satunya adalh proses pedidikan merupakan bagian ibadah kepada Allah. Seorang guru yang mengajarakan kebaikan kepada orang lain adalah ibadah; demikian pula siswa yang sedang mencari kebenaran adalah ibadah, hal ini sesuai dengan Q.s. al-Mujadilah (58:11)
âÆìsùötƒ... ª!$# tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä öNä3ZÏB tûïÏ%©!$#ur (#qè?ré& zOù=Ïèø9$# ;M»y_u‘yŠ 4 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ׎Î7yz ÇÊÊÈ
Terjemahnya: “…niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat”[13]
Dari segi waktu, ibadah dengan maknanya yang luas tentu saja selain ibadah fardhu yang karena sesuatu hikmah telah ditentukan waktunya-boleh dilakukan di setiap waktu sepanjang hayat. Baik masa kanak-kanak dan remaja merupakan fase penting dalam pendidikan. Pendidikan Islam menekankan kontinuitas pembelajaran sepanjang hayat sebagai salah satu bentuk ibadah.
2.      Kesatuan yang menyeluruh
Refleksi prinsip kesatuan dalam filsafat Islam tampak pada proses pendidikan. Pertama, prinsip kesatuan perkembangan individu dalam kerangka perkembangan masyarakat dan dunia. Kedua prinsip kesatuan umat manusia yang merupakan karakteristik universalitas dalam pendidikan Islam. Menurut prinsip kesatuan umat manusia, seluruh manusia adalah makhluk Allah, semuanya diciptakan agar saling mengenal dan saling menolong dalam menjalankan amar ma’ru dan nahi munkar, menciptakan suasana kondusif bagi terlaksananya ibadah kepada Allah. Ketiga prinsip kesatuan pengetahuan yang mencakup berbagai disiplin ilmu dan seni. Dalam kesatuan pengetahuan yang mencakup berbagai disiplin ilmu dan seni, pendidikan Islam menghargai dan memandang penting semua pengetahuan yang berguna bagi individu dan masyarakat tanpa membeda-bedakan antara ilmu keagamaan dan ilmu keduniawian. Pendidikan Islam menekankan pentingnya setiap individu memiliki ilmu keagamaan yang cukup untuk melaksanakan ibadah serta ilmu keduniaan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
3.      Keseimbangan yang kokoh.
Pendidikan Islam memperhatikan keseimbangan antara alam ideal dan alam realitas, serta antara apa yang harus dilakukan dan apa yang mungkin dipandang sebagai suatu batas minimal untuk dilakukan sesuai dengan kemampuan individu. Oleh sebab itu, Islam membuat garis keseimbangan antara tingkah laku individual dan tingkah laku sosial  serta batas minimal yang dikehendaki.
Prinsip keseimbangan dalam pendidikan Islam telah meletakkan batas dan ukuran bagi segala sesuatu, sehingga kehidupan tidak kacau. Prinsip yang demikian diletakkan karena pendidikan Islam adalah pendidikan untuk hidup dengan penuh keimanan menuju keridaan Allah.
            Ruang lingkup pendidikan Islam tampak pada kriteria pemilihannya, yaitu iman, ilmu, amal, akhlak dan sosial. Dengan kriteria tersebut pendidikan Islam merupakan pendidikan keimanan, ilmiah, amaliah, moral dan sosial. Semua kriteria tersebut terhimpun dalam firman Allah ketika menyifati kerugian manusia yang menyimpang dari jalan pendidikan Islam, baik manusia sebagai individu, manusia sebagai generasi mauapun umat manusia secara keseluruhan. Sebagaiamana dalam Q.S. al-Ashr (103:1-3)
ΎóÇyèø9$#ur ÇÊÈ   ¨bÎ) z`»|¡SM}$# ’Å"s9 AŽô£äz ÇËÈ   žwÎ) tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qè=ÏJtãur ÏM»ysÎ=»¢Á9$# (#öq|¹#uqs?ur Èd,ysø9$$Î/ (#öq|¹#uqs?ur Ύö9¢Á9$$Î/ ÇÌÈ  
Terjemahnya: “Demi masa, sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, dan nasehat-menasehati supaya menaati kebenaran dan nasihat-menasihati supaya menetapi kesabaran”[14]

            Berdasarkan ayat tersebut, jelas bahwa ruang lingkup pendidikan Islam adalah iman, ilmu, amal, akhlak dan sosial.
1.      Pendidikan Keimanan
Pendidikan Islam berwatak Rabbani. Watak tersebut menempatkan hubungan antara hamba dan khalik. Sebagai Isi pertama pendidikan Islam. Dengan hubungan tersebut, kehidupan individu akan bermakna, perbuatannya akan bertujuan, dorongannya untuk belajar dan beramal akan tumbuh, akhlaknya menjadi mulia, dan jiwanya menjadi bersih, sehingga pada gilirannya ia akan memiliki kompetensi untuk menjadi khalifah di muka bumi.
Dengan kata lain pendidikan Islam memperhatikan pengembangan keimanan tidak hanya melalui perkara gaib, fenomena ruhaniah dan peribadatan semata. Kitab alam yang terbuka dengan segala fenomena alamnya serta berbagai ilmu dan praktik kehidupan dapat memperkokoh keimanan. Salah satu perintah al-Quran yang menyerukan keimanan melalui ciptaannya terdapat pada Q.s. Ali Imran (3:190) dan Q.s. Luqman, (31:10) yaitu:
žcÎ) ’Îû È,ù=yz ÏNºuq»yJ¡¡9$# ÇÚö‘F{$#ur É#»n=ÏF÷z$#ur È@øŠ©9$# ͑$pk¨]9$#ur ;M»tƒUy ’Í<'rT[{ É=»t6ø9F{$# ÇÊÒÉÈ  

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda