Sejarah Peradaban Islam, Bani Umayyah
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejarah Islam telah mengalami pasang
surut peradaban, ketika Barat berada dalam masa-masa suram (The Black Age), Islam telah bersinar
menjadi sebuah imperium peradaban Islam. Dimulai sejak Rasulullah membentuk
perdaban Civil Society atau
masyarakat madani dikota Yatsrib, dilanjutkan oleh khulafaurasyidin dan diteruskan oleh pemerintahan Bani Umayyah,
Bani Abbasiyah sampai pada pemerintahan Turki Utsmani. Akan tetapi pasca
pemerintahan Turki Utsmani Peradaban Islam tinggal menjadi sebuah kenangan,
menjadi buah bibir bagi generasi penerus, Islam berada di bawah bayang-bayang
peradaban Barat.
Bagi kaum pesimis peradaban Islam tinggal
menjadi sebuah sejarah, akan tetapi sejarah tempat belajar para generasi.
Disana orang-orang yang hidup belajar apa yang bermanfaat bagi mereka dan
belajar apa yang berbahaya untuknya agar ia dapat menghindar darinya. Sejarah
adalah jembatan yang menghubungkan masa lau dan masa kini.[1]
Dengan Sejarah Orang bisa mendapatkan pengalaman untuk melakukan yang terbaik
di masa yang akan datang.
Salah
satu Sejarah yang pernah tercatat dalam peradaban Islam adalah pemerintahan
pada masa Bani Umayyah. Membicarakan Bani Umayyah sebagai sebuah rezim politik
dengan menggunakan perspektif historis, meletakkan analisis kita pada semacam
kontraversi dan kontradiksi. Pertentangan antara kenyataan dan nilai/harapan
tak terelakkan ketika mata sejarah menatap bani umayyah disatu sisi dalam hal
prestasi “ekspansi” di mana Bani Umayyah adalah kekuataan politik pertama yang
membawa Islam jauh memasuki perdaban-peradaban baru melalui berbagai
penaklukan, sebuah dialog agama dan budaya yang jejaknya masih berdenyut sebagai
nostalgia di Cina, India dan Spanyol hingga hari ini dan masih akan terus
berkembang. Disisi lain energi ekspansi tersebut diperoleh “bukan dari semangat
yang digali dari nash-nash suci al-qur’an dan hadits”, melainkan - sebagaimana
yang mengalaminya – berasal dari hasrat untuk meningkatkan kualitas hidup dan
kebanggaan. Motif finansial ekonomis dan prestise sebagai penguasa.[2]
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut
di atas, maka ada dua hal yang menjadi Mainstream
yang penulis akan angkat, yaitu;
1.
Bagaimana
proses terbentuknya Bani Umayyah? dan
2.
Bagaiamana
perkembangan politik pada masa Bani Umayyah?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Proses
Pembentukan Bani Umayyah
Bani
Umayah berasal dari nama Umayah Ibnu Abdi Syams Ibnu Abdi Manaf, salah satu pemimpin
dari kabilah Quraisy. Yang memiliki cukup unsur untuk berkuasa di zaman
Jahiliyah yakni keluarga bangsawan, cukup kekayaan dan mempunyai sepuluh orang
putra. Orang yang memiliki ketiga unsur tersebut di zaman jahiliyah berarti
telah mempunyai jaminan untuk memperoleh kehormatan dan kekuasaan. Umayah
senantiasa bersaing dengan pamannya yaitu Hasim Ibnu Abdi Manaf. Sesudah datang
agama Islam persaingan yang dulunya merebut kehormatan menjadi permusuhan yang
lebih nyata. Bani Umayah dengan tegas menentang Rosululloh, sebaliknya Bani
Hasim menjadi penyokong dan pelindung Rosululloh, baik yang sudah masuk Islam
atau yang belum. Bani Umayah baru masuk Islam setelah tidak menemukan jalan
lain, ketika Nabi Muhammad Saw dengan beribu pasukannya menyerbu masuk Mekah.
Dengan demikian Bani Umayah adalah orang-orang yang terakhir masuk agama Islam
pada masa Rosululloh dan salah satu musuh yang paling keras sebelum mereka
masuk Islam.
Setelah mereka masuk Islam mereka
dengan segera memperlihatkan semangat kepahlawanannya agar orang lupa terhadap
sikap dan perlawanannya terhadap Islam sebelum mereka memasukinya. Sehingga
setelah masuk Islam Bani Umayah banyak berbuat jasa-jasa besar terhadap Islam.
Pembentukan
Bani Umayyah tidak lepas dari persoalan politik yang terjadi pada akhir
pemerintahan khulafaur Rasyidin. Ketika
masa pemerintahan Abu Bakar, Muawiyah bin Abu Sofyan diangkat menjadi gubernur
di Syam menggantikan saudaranya Yazid bin Abu Sofyan. Dan memerintah selama
duapuluh tahun[3]. Sepeninggal
Utsman Bin Affan kaum muslimin memilih Ali Bin Abi Thalib untuk menjadi
pemimpin mereka. Akhirnya semua wilayah-wilayah yang berpenduduk Islam
membaiatnya kecuali wilayah syam yang gubernurnya adalah Muawiyah bin Abu
Sofyan yang memberontak terhadap pembaiatan Ali bin Abi Thalib. Dengan
pemberontakan ini sehingga khalifah Ali Bin Abi Thalib mengambil kebijakan
untuk memecat beberapa gubernur yang pernah diangkat oleh khalifah utsman dari
Bani umayyah[4].
Kebijakan inilah yang menyebabkan terjadinya perang Shiffin pada tahun 37 H/657
M antara Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyah Bin Abu Sofyan. Ketika Pasukan
Khalifah Ali hampir memenangkan peperangan, pasukan muawiyah mengangkat mushaf
al-qur’an sebagai tahkim dan melakukan arbitrase.
Dari Arbitrase ini diputuskan bahwa Imam Ali diberhentikan sebagai khalifah
melalui siasat yang dilakukan oleh Amru bin Ash, dan akhirnya Imam Ali bin Abi
Thalib dibunuh oleh seorang khawarij yang merupakan kelompok yang keluar dari
pasukan imam Ali setelah terjadinya arbitrase.
Sepeninggal Imam Ali, rakyat segera membaiat Hasan bin
Ali sebagai khalifah, akan tetapi dia berkuasa hanya dalm jangka waktu 6 (enam)
bulan, karena dalam pemerintahahnnya dia melihat banyak terjadi perselisihan
diantara sahabat-sahabat dan lebih mementingkan persatuan umat. Sehingga pada
bulan Rabiul Awwal tahun 41 H/661 M diadakan kesepakatan damai dan Imam Hasan
menyerahkan pemerintahan kepada Muawiyah. Tahun tersebut dinamakan “Aam Jam’ah” karena kaum muslimin sepakat
menjadikan satu orang khalifah untuk menjadi pemimpin mereka.
Bani
Umayah merupakan awal kekuasaan dari berakhirnya Masa Khulafaur Rosyidin dengan
dimulainya kekuasaan Bani Umayah maka dimulailah semangat politik Islam.
Memasuki masa kekuasaan Muawiyah yang menjadi awal kekuasaan Bani Umayah,
pemerintahan yang dulunya bersifat demokratis akhirnya berubah menjadi monarki
heridetis (kerajaan yang turun – temurun) hal ini dimulai ketika Muawiyah
mewajibkan suluruh rakyatnya untuk menyatakan setia kepada anaknya Yazid. Dia
tetap menggunakan istilah kholifah namun memberikan interpretasi baru dari
kata–kata itu untuk mengagungkan jabatan tersebut. Yakni dengan menyebut
kholifah Allah yaitu penguasa yang dianggap oleh Allah.
B.
Perkembangan politik pada masa dinasti
Umayyah
Pemerintahan dinasti Umayyah berdiri
setalah khilafah Rasyidah yang ditandai dengan terbunuhnya Imam Ali bin Abi Thalib pada tahun 40 H/661 M. Pemerintahan mereka dihitung sejak Hasan Bin
Ali menyerahkan kekuasaan terhadap Muawiyah Bin Abi Sofyan pada tanggal 25
Rabiul awwal 41 H/661M
Pemerintahan ini berakhir dengan kekalahan khalifah
Marwan Bin Muhammad di perang Zab pada bulan Jumadil ula tahun 132 H /749 M.
Dengan demikian pemerintahan Bani Umayyah berlangsung selama 91 tahun.
Pemerintahan ini dikuasai oleh dua keluarga dan diperintah oleh 14 orang
khalifah, ke empatbelas khalifah tersebut adalah :
1.
Muawiyah
bin Abu Sofyan (41-60
H/661-679M)
2.
Yazid
Bin Muawiyah (60-64
H/679-683M)
3.
Muawiyah
Bin Yazid (64H/683M,
hanya 40 hari saja)
4.
Marwan
Bin Hakim (64-65H/683/684M)
5.
Abd.
Malik Bin Marwan (65-86H/684-705M)
6.
Walid
Bin Abd. Malik (86-96H/705-714M)
7.
Sulaiman
Bin Abd. Malik (96-99H/714-717M)
8.
Umar
Bin Abd. Azis bin Marwan (99-101H/717-719M)
9.
Yazid
Bin Abdul Malik (101-105H/719-723M)
10. Hisyam Bin Abdul Malik (101-125H/723-742M)
11. Walid bin Yazid (125-126H/742-743M)
12. Yazid Bin Malik Bin Abd. Malik (126H/743M)
13. Ibrahim bin Walid (126-127H/743-744M)
14. Marwan Bin Muhammad (127-132H/744-749M)[5]
Tidak
dapat dinafikkan dalam sejarah bahwa selama pemerintahan dinasti bani Umayyah
Islam mengalami kemajuan pesat dalam hal ekspansi wilayah. Hal ini dapat
dilihat dari Penaklukan wilayah-wilayah yang dilakukan pada masa pemerintahan
Bani umayah yang meliputi tiga wilayah:
1.
Melawan
pasukan Romawi di Asia kecil. Penaklukan ini sampai dengan pengepungan
Konstantinopel dan beberapa kepulauan di Laut Tengah
2.
Wilayah
Afrika Utara. Penaklukan ini sampai ke Samudera Atlantik kemudian menyeberang
kegunung Thariq hingga ke Spanyol
3.
Wilayah
Timur. Penaklukan ini sampai ke sebelah timur Irak, kemudian meluas ke wilayah
Turkistan di Utara serta ke wilayah Sindh di bagian selatan.
Akan
tetapi dalam dimensi lain, sejarah juga mencatat bahwa dalam proses
pemerintahan bani umayah ini juga terjadi gejolak politik yang luar biasa.
Gejolak politik ini terjadi dalam internal Islam yang mengakibatkan terjadinya
perseteruan abadi antara kelompok Islam Syiah dan kelompok Islam Sunni. Gejolak
politik ini pula yang mengakibatkan sering terjadinya pergantian kepemimpinan
sehingga ada pemimpin bani umayah yang memerintah tidak cukup satu tahun.
Realitas
politik tersebut dapat dilihat pada pemaparan berikut:
1.
Masa
Pemerintahan Muawiyah Bin Abu Sofyan
Pada
masa pemerintahan Muawiyah Bin Abu Sofyan telah terjadi pemberontakan yang
dilakukan oleh kaum Khawarij di Kufah dan Basrah akan tetapi mereka dapat
dihancurkan.
Pembaiatan
yang dilakukan kepada Yazid anak dari Muawiyah sendiri yang mengakibatkan
penentangan dari tokoh-tokoh kaum Islam antara lain Husein Bin Ali, Abdur
Rahman Bin Abu Bakar, Abdullah Bin Umar, Abdullah Bin Abbas serta Abdullah Ibnu
Zubair.
2. Pemerintahan Yazid Bin Muawiyah (60-64
H/679-683 M)
Pada masa pemerintahan Yazid Bin Muawiyah ada beberapa
peristiwa yang terjadi dan merupakan noda hitam dalam dunia Islam yang
berakibat permusuhan umat Islam hingga hari ini. Hal tersebut dipicu dari
pembaiatan Yazid yang dilakukan sendiri oleh ayahnya. Peristiwa yang terjadi
antara lain pemberontakan kaum syiah[6],
peristiwa karbala.[7] Upaya
Yazid untuk meminta baiat, sama seperti ayahnya, selalu difokuskan pada anggota
ahl al-Bait. Setelah Hasan Bin Ali
tewas diracun. Husain Bin Ali berdasarkan baiat kaum muhajirin dan Ansar yang
bermukim di Madinah, meneruskan tanggungjawabnya sebagai pemimpin umat. Husain
bin Ali lah yang menjadi target pemberi baiat bagi Yazid. Husain Bin Ali
menolak keras.
Pada 3 Sya’ban 60 H. Husain Bin Ali meninggalkan Madinah untuk menunaikan ibadah
haji. Di kota ini pulalah Husain Bin Ali menerima surat dalam jumlah besar yang
mengabarkan bahwa pendukungnya di Irak telah siap sedia membantu jika Husain
bin Ali menginginkan. Pada awalnya sikap
Husain bin Ali sangat pasif terhadap tawaran tersebut, namun setelah melihat
jumlah surat yang datang begitu besar maka Muslim bin Aqil ke Irak untuk
memastikan sekaligus mengkonsolidasikan bai’at
untuk Husain bin Ali.
Sesampainya Muslim bin Aqil di Kufah, ia mulai
mengkonsolidasikan syarat bai’at
kepada Husain bin Ali jika warga Kufah menginginkannya sebagaimana yang
tertulis dalam surat-surat mereka, selang limabelas hari kemudian, delapanbelas
ribu orang membai’at Husain melalui Muslim bin Aqil.
Yazid tidak mentolerir perkembangan semacam ini, ia
segera mengangkat Ibnu Ziat sebagai Gubernur Kufah. Ibnu ziat inilah yang
kemudian mengejar dan membunuh secara sadis Muslim bin Aqil. Sebelum tewas
Muslim berpesan kepada Umar bin Sa’ad agar menyampaikan perkembangan situasi
terakhir kepada Husain bin Ali dengan maksud membatalkan niat beliau pergi ke
Kufah yang warganya begitu gampang berpindah niat di bawah ancaman pedang.
Pada waktu Husain meninggalkan Mekah beliau belum tahu
perkembangan terakhir di Kufah, bahkan ketika akhirnya beliau paham keadaan
yang sebenarnya, beliau tetap melanjutkan perjalanan walaupun hanya diikuti
oleh keluarga-keluarga dekat dan sahabat istimewa beliau.
Ada alasan diluar alasan politik sehingga Husain bin Ali
tetap melanjutkan perjalanan hingga kahirnya dicegat oleh tentara Ziat yang
dikomandoi oleh Hurr bin Yazid Riyahi. Alasan tersebut adalah alasan teologis;
jika ucapan dan tulisan tidak berfungsi lagi sebagai ekspresi dakwah untuk
membedakan mana syar’i dan mana batil, maka darah adalah pembeda terakhir yang
bisa digunakan oleh cucu Nabi. Namun pada tanggal 4 -10 Muharram beliau ditahan
disebuah tempat yang bernama Karbala bersama keluarga dan sahabatnya tanpa
suplai air dan makanan ditambah panas terik yang begitu menyengat. Selanjutnya
di kampung Karbala tersebut Hasan Bin Ali dibantai dalam kondisi yang
mengenaskan; kepala dan anggota badannya dipisahkan lalu kepalanya ditusukkan
disebuah tombak yang akan diarak bersama tahanan yang terdiri dari kaum
perempuan, keluarga dan sahabat Husain ditambah dengan putranya Ali bin Husain
yang saat itu sementara sakit.
Peristiwa Karbala begitu membekas dalam dan menyisihkan
efek psikologis sosial yang sangat merugikan Bani Umayyah. Selain
pemberontakan-pemberontakan yang dilancarkan oleh pengikut ahl-albait diantaranya yang dipimpin oleh Muhammad bin Ali Hanifah,
peristiwa Karbala mengikis habis simpati ummat terhadap kepemimpinan Bani
Umayyah. Bani umayah bertahan bukanlah kecintaan dan kepatuhan, umat, melainkan
aksi-aksi sistematis dalam bentuk sogokan dan kekerasan.
Kabar tentang tragedi Karbala sampai
ke kota Medinah, maka saat itulah Abdullah Ibnu Zubair mengumumkan pencopotan
Yazid dari kekhalifahan dan membaiat dirinya sebagai khalifah, yang diikuti
oleh penduduk Madinah. Mendengar berita itu Yazid segera mengirimkan pasukannya
ke Medinah dan menghalalkan pertumpahan darah di Madinah, kemudian pasukan
Yazid melanjutkan serangannya ke Mekah, tempat pelarian Abdullah Ibnu Zubair. Maka
Mekah di kepung dan Baitullah dilempari dengan mejanjiq dan dibakr dengan api.
Akhirnya Yazid meninggal pada saat pengepungan kota Mekah.[8]
3. Muawiyah II Bin Yazid
Pengganti
khalifah Yazid bin Muawiyah adalah Muawiyah II bin Yazid, dimana masa pemerintahannya
tidak bertahan lama karena sakit yang dideritanya.
4. Abdullah Ibnu Zubair (64-73 H/ 683-692 M)
Sebagaimana yang telah diebutkan di
atas bahwa Abdullah Ibnu Zubair membaiat dirinya dan diikuti oleh penduduk
Medinah pasca tragedi Karbala. Dengan demikian, maka pemerintahan Muawiyah Bin
Yazid, Marwan Bin Hakam serta Abdul Malik bin Marwan (di awal pemerintahannya)
tidak sah sebab merek berkuasa di Syam pada saat pemerintahan Abdullah Ibnu
Zubair.[9]
Adapun peristiwa politik yang terjadi adalah pemberontakan Marwan Bin Hakam
dari keturunan Muawiyah, pemberontakan Mukhtar ats-Saqafi pengikut Abdullah
Ibnu Zubair yang membangkang dan melarikan diri ke Kufah serta mengaku sebagai
Imam Mahdi serta pemberontakan Abdul Malik bin Marwan bin Hakam yang mampu
menguasai Irak dan bergerak menuju kota Mekkah sampai pada akhirnya Abdullah
ibnu Zubair meninggal dalam perang tersebut.
5. Abdul Malik Bin Marwan (keturunan Muawiyah)
73-86 H/692-705M
Abdul Malik Bin Marwan dianggap
sebagai pendiri kedua bani Umayyah, yang berhasil mempersatukan kembali
negeri-negeri Islam di bawah kekuasannya. Adapun pemberontakan yang terjadi
adalah pemberontakan Abdur Rahman ibnul Asy-‘ats, Hajjaj bin Yusuf ats-Tsaqafi salah seorang Gubernur Abdul
Malik sekaligus komandan pasukan ketika
penyerangan terhadap Abdullah Ibnu Zubair serta pemberontakan kaum khawarij
6. Walid bin Abdul Malik (86-96 H/ 705-714 M)
Walid bin Abdul Malik adalah anak
dari khlaifah sebelumnya. Dia menggantikan ayahnya menjadi khalifah setelah
ayahnya meninggal. Dalam pemerintahnnya tidak terlalu banyak terjadi peristiwa
politik kecuali berupa ekspansi kekuasaan haingga akhirnya khalifah Walid
meninggal setelah 10 tahun menjadi khalifah.
7. Sulaiman bin Abdul
Malik 96-99 H/714-717 M)
Sulaiman bin abdul Malik adalah
saudara Walid bin Abdul Malik yang ssebelumnya menjadi khalifah di Ramalah.
Berdasarkan wasiat ayahnya bahwa sepeninggal Abdul Malik maka yang akan
menggantikannya adalah Walid dan Sulaiman. Pada masa awal pemerintahannya
Sulaiman dihadapkan pada aksi balas dendam dari pemimpin-pemimpin besar yang
ada sebelumnya. Mereka dan bersekongkol dengan Walid untuk menurunkan dia dari
putra Mahkota dan menggantinya dengan Putra Walid. Akan tetapi ketika Sulaiman
menunaikan Ibadah Haji dia mewasiatkan agar pengganti setelahnya adalah anak
dari pamannya yaitu Umar Bin Abdul Azis.
8. Umar Bin Abdul Azis (99-101 H/717-719 M)
Sejarah mencatat bahwa dari
keturunan Bani Umayyah khalifah yang paling mengikuti syariat Islam adalah Umar
Bin Abdul Azis. Bahkan pemerintahan Umar Bin Abdul Azis dianggap sebagainsatu
lembaran yang menghubungkan sejarah Abu Bakar dan Umar Bin Khaththab yang
pernah terputus.
Umar bin Abdul Azis ketika menjadi
khalifah mengembalikan semua harta yang ada pada dirinya ke Baitul Mal termasuk
perhiasan dan berlian yang dimiliki oleh istrinya semuanya dikembalikan dan
mengharamkan dirinya untuk mengambil sesuatupun dari Baitul Mal. Dalam
pemerintahannya banyak melakukan reformasi dan perbaikan, sedakah dan zakat
didistribusikan secara benar hingga kemiskinan tiadak ada lagi dizamannya. Pada
masanya cemoohan serta penindasan kepada kaum syiah dihentikan sehingga tidak pernah terjadi konflik
internal termasuk kaum khawarij tidak melakukan geraka-gerakan revolusioner
bahkan mereka mendatangi Umar Bin Abdul Azis untuk melakukan dialog terbuka
sehingga banyak diantara mereka yang kembali ke jalan yang benar. Pasca
wafatnya Umar Bin Abdul Azis yang hanya memerintah 2 tahun, peristiwa poitik
yang banya terjadi adalah penyusunan kekuatan Bani Abbasiyah, yang pada
akhirnya pada khalifah Marwan Bin Muhammad (127-132 H/744-749 M) ketika terjadi
pertempuran antara Bani abbasiyah dengan dengan pasukan Marwan di sungai Zab
(antara Mosul dan Arbil) pasukannya kalah dan dia terbunuh sekaligus mengakhiri
masa dinasti Umayyah.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dinasti Bani Umayyah adalah khalifah
yang memimpin setelah khulafaurrasyidin.
Kepemimpinan Muawiyah sebagai pendiri dinasti Bani Umayyah berawal dari
perpecahan umat Islam diakhir masa khulafaurrasyidin
Melalui perang Shiffin yang diakhiri
dengan Arbitrase, akhirnya Muawiyah membaiat dirinya menjadi khalifah
menggantikan khalifah Ali Bin Abu Thalib.
Pada masa pemerintahan dinasti
Umayah perluasan kekuasaan Islam mengalami kemajuan yang sangat pesat, hampir
menguasai duapertiga belahan dunia. Akan tetapi dalam pemerintahannya juga
banyak noda hitam yang terjadi dalam upaya pelanggengan kekuasaan. Noda hitam
tersebut yang paling memalukan adalah peristiwa Karbala yang masih membekas
pada salah satu kelompok Islam sampai sekarang.
B. Saran
Sejarah Islam banyak memiliki versi,
sehingga sebagai orang yang hadir jauh dari fakta sejarah maka sudah selayaknya
kita mempelajari semua versi tersebut untuk membuka mata kita terhadap realitas
sejarah yang sebanarnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Usairy,
Ahmad, At-Tarikh al-Islamiyah, diterjemahkan
Samson (Cet. VI; Jakarta:Akbarmedia,
2008)
Amuli,
Jawad, Irfan wa Hamasah,
diterjemahkan Muhammad Ilyas, (Cet. I, Bogor, Cahaya, 2003)
As-Suyuthi,
Imam, Tatikh Khulafa’ Diterjemahkan
Samson Rahman (Cet.V, Jakarta:Pustaka Al-Kautsar, 2006)
Ja’farian,
Rasul, History Of Chalips: From the Death
of The Messenger (s) to The Decline of The Umayyad Dynasti, Diterjemahkan
Ilyas Hasan (qum : Ansharian Publication, 2003)
Nashr,
Vali, The Shiah Revival:How Complicts
Within Islam Will Shafe The Future, Diterjemahkan M. Ide Murtesa, (Cet. I,
Jakarta:Diwan 2007)
Syalabi,
A, Sejarah dan Kebudayaan Islam Jilid 2, diterjemahkan
Mukhtar Yahya dan Sanusi Latief (Cet. IV, Jakarta:Mutiara Sumber Widya, 2000)
[1] Kata pengantar oleh Ahmad Al-Usairy yang dikutip dalam pengantar Unwan al-Majd karangan Ibnu Bisr h. 12
[2] Ayatullah Jawad Amuli, Irfan wa
Hamasah, diterjemhakan Muhammad Ilyas, (Cet. I, Bogor Cahaya, 2003) h.
189-190
[3] Secara lengkap dapat dibaca dalam kitab Imam As-Suyuthi, Tarikh Khulafa’ , h. 229-304
[4] Ahmad Al-Usairy, Sejarah Islam
sejak zaman Nabi Adam hingga abad XX h.
173
[5] Ibid 185
[6] Ibid. H. 192
[7] Untuk studi perbandingan terhadap peristiwa Karbala dan efek yang
ditimbulkannya terhadap dunia Islam hingga hari ini, dapat dilihat pada karya
Vali Nasr, The syiah revival : How
Complicts Within Islam Will Shafe The Future, diterjemahkan M. Ide Murtesa,
(Cet. I,: Jakarta:Diwan, 2007), h. 39-52
[8] Op.Cit. h. 194
[9] Lo Cit, h. 195
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda