Selasa, 13 Maret 2012

Sejarah Peradaban Islam, Bani Umayyah


BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
            Sejarah Islam telah mengalami pasang surut peradaban, ketika Barat berada dalam masa-masa suram (The Black Age), Islam telah bersinar menjadi sebuah imperium peradaban Islam. Dimulai sejak Rasulullah membentuk perdaban Civil Society atau masyarakat madani dikota Yatsrib, dilanjutkan oleh khulafaurasyidin dan diteruskan oleh pemerintahan Bani Umayyah, Bani Abbasiyah sampai pada pemerintahan Turki Utsmani. Akan tetapi pasca pemerintahan Turki Utsmani Peradaban Islam tinggal menjadi sebuah kenangan, menjadi buah bibir bagi generasi penerus, Islam berada di bawah bayang-bayang peradaban Barat.
 Bagi kaum pesimis peradaban Islam tinggal menjadi sebuah sejarah, akan tetapi sejarah tempat belajar para generasi. Disana orang-orang yang hidup belajar apa yang bermanfaat bagi mereka dan belajar apa yang berbahaya untuknya agar ia dapat menghindar darinya. Sejarah adalah jembatan yang menghubungkan masa lau dan masa kini.[1] Dengan Sejarah Orang bisa mendapatkan pengalaman untuk melakukan yang terbaik di masa yang akan datang.
Salah satu Sejarah yang pernah tercatat dalam peradaban Islam adalah pemerintahan pada masa Bani Umayyah. Membicarakan Bani Umayyah sebagai sebuah rezim politik dengan menggunakan perspektif historis, meletakkan analisis kita pada semacam kontraversi dan kontradiksi. Pertentangan antara kenyataan dan nilai/harapan tak terelakkan ketika mata sejarah menatap bani umayyah disatu sisi dalam hal prestasi “ekspansi” di mana Bani Umayyah adalah kekuataan politik pertama yang membawa Islam jauh memasuki perdaban-peradaban baru melalui berbagai penaklukan, sebuah dialog agama dan budaya yang jejaknya masih berdenyut sebagai nostalgia di Cina, India dan Spanyol hingga hari ini dan masih akan terus berkembang. Disisi lain energi ekspansi tersebut diperoleh “bukan dari semangat yang digali dari nash-nash suci al-qur’an dan hadits”, melainkan - sebagaimana yang mengalaminya – berasal dari hasrat untuk meningkatkan kualitas hidup dan kebanggaan. Motif finansial ekonomis dan prestise sebagai penguasa.[2]
B.  Rumusan Masalah
            Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka ada dua hal yang menjadi Mainstream yang penulis akan angkat, yaitu;
1.    Bagaimana proses terbentuknya Bani Umayyah? dan
2.    Bagaiamana perkembangan politik pada masa Bani Umayyah?
BAB II
PEMBAHASAN
A.  Proses Pembentukan Bani Umayyah
Bani Umayah berasal dari nama Umayah Ibnu Abdi Syams Ibnu Abdi Manaf, salah satu pemimpin dari kabilah Quraisy. Yang memiliki cukup unsur untuk berkuasa di zaman Jahiliyah yakni keluarga bangsawan, cukup kekayaan dan mempunyai sepuluh orang putra. Orang yang memiliki ketiga unsur tersebut di zaman jahiliyah berarti telah mempunyai jaminan untuk memperoleh kehormatan dan kekuasaan. Umayah senantiasa bersaing dengan pamannya yaitu Hasim Ibnu Abdi Manaf. Sesudah datang agama Islam persaingan yang dulunya merebut kehormatan menjadi permusuhan yang lebih nyata. Bani Umayah dengan tegas menentang Rosululloh, sebaliknya Bani Hasim menjadi penyokong dan pelindung Rosululloh, baik yang sudah masuk Islam atau yang belum. Bani Umayah baru masuk Islam setelah tidak menemukan jalan lain, ketika Nabi Muhammad Saw dengan beribu pasukannya menyerbu masuk Mekah. Dengan demikian Bani Umayah adalah orang-orang yang terakhir masuk agama Islam pada masa Rosululloh dan salah satu musuh yang paling keras sebelum mereka masuk Islam.
             Setelah mereka masuk Islam mereka dengan segera memperlihatkan semangat kepahlawanannya agar orang lupa terhadap sikap dan perlawanannya terhadap Islam sebelum mereka memasukinya. Sehingga setelah masuk Islam Bani Umayah banyak berbuat jasa-jasa besar terhadap Islam.
Pembentukan Bani Umayyah tidak lepas dari persoalan politik yang terjadi pada akhir pemerintahan khulafaur Rasyidin.  Ketika masa pemerintahan Abu Bakar, Muawiyah bin Abu Sofyan diangkat menjadi gubernur di Syam menggantikan saudaranya Yazid bin Abu Sofyan. Dan memerintah selama duapuluh tahun[3]. Sepeninggal Utsman Bin Affan kaum muslimin memilih Ali Bin Abi Thalib untuk menjadi pemimpin mereka. Akhirnya semua wilayah-wilayah yang berpenduduk Islam membaiatnya kecuali wilayah syam yang gubernurnya adalah Muawiyah bin Abu Sofyan yang memberontak terhadap pembaiatan Ali bin Abi Thalib. Dengan pemberontakan ini sehingga khalifah Ali Bin Abi Thalib mengambil kebijakan untuk memecat beberapa gubernur yang pernah diangkat oleh khalifah utsman dari Bani umayyah[4]. Kebijakan inilah yang menyebabkan terjadinya perang Shiffin pada tahun 37 H/657 M antara Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyah Bin Abu Sofyan. Ketika Pasukan Khalifah Ali hampir memenangkan peperangan, pasukan muawiyah mengangkat mushaf al-qur’an sebagai tahkim dan melakukan arbitrase. Dari Arbitrase ini diputuskan bahwa Imam Ali diberhentikan sebagai khalifah melalui siasat yang dilakukan oleh Amru bin Ash, dan akhirnya Imam Ali bin Abi Thalib dibunuh oleh seorang khawarij yang merupakan kelompok yang keluar dari pasukan imam Ali setelah terjadinya arbitrase.
            Sepeninggal Imam Ali, rakyat segera membaiat Hasan bin Ali sebagai khalifah, akan tetapi dia berkuasa hanya dalm jangka waktu 6 (enam) bulan, karena dalam pemerintahahnnya dia melihat banyak terjadi perselisihan diantara sahabat-sahabat dan lebih mementingkan persatuan umat. Sehingga pada bulan Rabiul Awwal tahun 41 H/661 M diadakan kesepakatan damai dan Imam Hasan menyerahkan pemerintahan kepada Muawiyah. Tahun tersebut dinamakan “Aam Jam’ah” karena kaum muslimin sepakat menjadikan satu orang khalifah untuk menjadi pemimpin mereka.
Bani Umayah merupakan awal kekuasaan dari berakhirnya Masa Khulafaur Rosyidin dengan dimulainya kekuasaan Bani Umayah maka dimulailah semangat politik Islam. Memasuki masa kekuasaan Muawiyah yang menjadi awal kekuasaan Bani Umayah, pemerintahan yang dulunya bersifat demokratis akhirnya berubah menjadi monarki heridetis (kerajaan yang turun – temurun) hal ini dimulai ketika Muawiyah mewajibkan suluruh rakyatnya untuk menyatakan setia kepada anaknya Yazid. Dia tetap menggunakan istilah kholifah namun memberikan interpretasi baru dari kata–kata itu untuk mengagungkan jabatan tersebut. Yakni dengan menyebut kholifah Allah yaitu penguasa yang dianggap oleh Allah.

B.  Perkembangan politik pada masa dinasti Umayyah
            Pemerintahan dinasti Umayyah berdiri setalah khilafah Rasyidah yang ditandai dengan terbunuhnya Imam Ali  bin Abi Thalib pada tahun 40 H/661 M.  Pemerintahan mereka dihitung sejak Hasan Bin Ali menyerahkan kekuasaan terhadap Muawiyah Bin Abi Sofyan pada tanggal 25 Rabiul awwal 41 H/661M
            Pemerintahan ini berakhir dengan kekalahan khalifah Marwan Bin Muhammad di perang Zab pada bulan Jumadil ula tahun 132 H /749 M. Dengan demikian pemerintahan Bani Umayyah berlangsung selama 91 tahun. Pemerintahan ini dikuasai oleh dua keluarga dan diperintah oleh 14 orang khalifah, ke empatbelas khalifah tersebut adalah :
1.    Muawiyah bin Abu Sofyan                        (41-60 H/661-679M)
2.    Yazid Bin Muawiyah                       (60-64 H/679-683M)
3.    Muawiyah Bin Yazid                       (64H/683M, hanya 40 hari saja)
4.    Marwan Bin Hakim                          (64-65H/683/684M)
5.    Abd. Malik Bin Marwan                   (65-86H/684-705M)
6.    Walid Bin Abd. Malik                       (86-96H/705-714M)
7.    Sulaiman Bin Abd. Malik                (96-99H/714-717M)
8.    Umar Bin Abd. Azis bin Marwan   (99-101H/717-719M)
9.    Yazid Bin Abdul Malik                    (101-105H/719-723M)
10. Hisyam Bin Abdul Malik                 (101-125H/723-742M)
11. Walid bin Yazid                                (125-126H/742-743M)
12. Yazid Bin Malik Bin Abd. Malik     (126H/743M)
13. Ibrahim bin Walid                             (126-127H/743-744M)
14. Marwan Bin Muhammad                (127-132H/744-749M)[5]
Tidak dapat dinafikkan dalam sejarah bahwa selama pemerintahan dinasti bani Umayyah Islam mengalami kemajuan pesat dalam hal ekspansi wilayah. Hal ini dapat dilihat dari Penaklukan wilayah-wilayah yang dilakukan pada masa pemerintahan Bani umayah yang meliputi tiga wilayah:
1.    Melawan pasukan Romawi di Asia kecil. Penaklukan ini sampai dengan pengepungan Konstantinopel dan beberapa kepulauan di Laut Tengah
2.    Wilayah Afrika Utara. Penaklukan ini sampai ke Samudera Atlantik kemudian menyeberang kegunung Thariq hingga ke Spanyol
3.    Wilayah Timur. Penaklukan ini sampai ke sebelah timur Irak, kemudian meluas ke wilayah Turkistan di Utara serta ke wilayah Sindh di bagian selatan.
Akan tetapi dalam dimensi lain, sejarah juga mencatat bahwa dalam proses pemerintahan bani umayah ini juga terjadi gejolak politik yang luar biasa. Gejolak politik ini terjadi dalam internal Islam yang mengakibatkan terjadinya perseteruan abadi antara kelompok Islam Syiah dan kelompok Islam Sunni. Gejolak politik ini pula yang mengakibatkan sering terjadinya pergantian kepemimpinan sehingga ada pemimpin bani umayah yang memerintah tidak cukup satu tahun.
Realitas politik tersebut dapat dilihat pada pemaparan berikut:
1.     Masa Pemerintahan Muawiyah Bin Abu Sofyan
Pada masa pemerintahan Muawiyah Bin Abu Sofyan telah terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh kaum Khawarij di Kufah dan Basrah akan tetapi mereka dapat dihancurkan.
Pembaiatan yang dilakukan kepada Yazid anak dari Muawiyah sendiri yang mengakibatkan penentangan dari tokoh-tokoh kaum Islam antara lain Husein Bin Ali, Abdur Rahman Bin Abu Bakar, Abdullah Bin Umar, Abdullah Bin Abbas serta Abdullah Ibnu Zubair.
2.  Pemerintahan Yazid Bin Muawiyah (60-64 H/679-683 M)
            Pada masa pemerintahan Yazid Bin Muawiyah ada beberapa peristiwa yang terjadi dan merupakan noda hitam dalam dunia Islam yang berakibat permusuhan umat Islam hingga hari ini. Hal tersebut dipicu dari pembaiatan Yazid yang dilakukan sendiri oleh ayahnya. Peristiwa yang terjadi antara lain pemberontakan kaum syiah[6], peristiwa karbala.[7] Upaya Yazid untuk meminta baiat, sama seperti ayahnya, selalu difokuskan pada anggota ahl al-Bait. Setelah Hasan Bin Ali tewas diracun. Husain Bin Ali berdasarkan baiat kaum muhajirin dan Ansar yang bermukim di Madinah, meneruskan tanggungjawabnya sebagai pemimpin umat. Husain bin Ali lah yang menjadi target pemberi baiat bagi Yazid. Husain Bin Ali menolak keras.
            Pada 3 Sya’ban 60 H. Husain Bin Ali  meninggalkan Madinah untuk menunaikan ibadah haji. Di kota ini pulalah Husain Bin Ali menerima surat dalam jumlah besar yang mengabarkan bahwa pendukungnya di Irak telah siap sedia membantu jika Husain bin  Ali menginginkan. Pada awalnya sikap Husain bin Ali sangat pasif terhadap tawaran tersebut, namun setelah melihat jumlah surat yang datang begitu besar maka Muslim bin Aqil ke Irak untuk memastikan sekaligus mengkonsolidasikan bai’at untuk Husain bin Ali.
            Sesampainya Muslim bin Aqil di Kufah, ia mulai mengkonsolidasikan syarat bai’at kepada Husain bin Ali jika warga Kufah menginginkannya sebagaimana yang tertulis dalam surat-surat mereka, selang limabelas hari kemudian, delapanbelas ribu orang membai’at Husain melalui Muslim bin Aqil.
            Yazid tidak mentolerir perkembangan semacam ini, ia segera mengangkat Ibnu Ziat sebagai Gubernur Kufah. Ibnu ziat inilah yang kemudian mengejar dan membunuh secara sadis Muslim bin Aqil. Sebelum tewas Muslim berpesan kepada Umar bin Sa’ad agar menyampaikan perkembangan situasi terakhir kepada Husain bin Ali dengan maksud membatalkan niat beliau pergi ke Kufah yang warganya begitu gampang berpindah niat di bawah ancaman pedang.
            Pada waktu Husain meninggalkan Mekah beliau belum tahu perkembangan terakhir di Kufah, bahkan ketika akhirnya beliau paham keadaan yang sebenarnya, beliau tetap melanjutkan perjalanan walaupun hanya diikuti oleh keluarga-keluarga dekat dan sahabat istimewa beliau.
            Ada alasan diluar alasan politik sehingga Husain bin Ali tetap melanjutkan perjalanan hingga kahirnya dicegat oleh tentara Ziat yang dikomandoi oleh Hurr bin Yazid Riyahi. Alasan tersebut adalah alasan teologis; jika ucapan dan tulisan tidak berfungsi lagi sebagai ekspresi dakwah untuk membedakan mana syar’i dan mana batil, maka darah adalah pembeda terakhir yang bisa digunakan oleh cucu Nabi. Namun pada tanggal 4 -10 Muharram beliau ditahan disebuah tempat yang bernama Karbala bersama keluarga dan sahabatnya tanpa suplai air dan makanan ditambah panas terik yang begitu menyengat. Selanjutnya di kampung Karbala tersebut Hasan Bin Ali dibantai dalam kondisi yang mengenaskan; kepala dan anggota badannya dipisahkan lalu kepalanya ditusukkan disebuah tombak yang akan diarak bersama tahanan yang terdiri dari kaum perempuan, keluarga dan sahabat Husain ditambah dengan putranya Ali bin Husain yang saat itu sementara sakit.
            Peristiwa Karbala begitu membekas dalam dan menyisihkan efek psikologis sosial yang sangat merugikan Bani Umayyah. Selain pemberontakan-pemberontakan yang dilancarkan oleh pengikut ahl-albait diantaranya yang dipimpin oleh Muhammad bin Ali Hanifah, peristiwa Karbala mengikis habis simpati ummat terhadap kepemimpinan Bani Umayyah. Bani umayah bertahan bukanlah kecintaan dan kepatuhan, umat, melainkan aksi-aksi sistematis dalam bentuk sogokan dan kekerasan.
            Kabar tentang tragedi Karbala sampai ke kota Medinah, maka saat itulah Abdullah Ibnu Zubair mengumumkan pencopotan Yazid dari kekhalifahan dan membaiat dirinya sebagai khalifah, yang diikuti oleh penduduk Madinah. Mendengar berita itu Yazid segera mengirimkan pasukannya ke Medinah dan menghalalkan pertumpahan darah di Madinah, kemudian pasukan Yazid melanjutkan serangannya ke Mekah, tempat pelarian Abdullah Ibnu Zubair. Maka Mekah di kepung dan Baitullah dilempari dengan mejanjiq dan dibakr dengan api. Akhirnya Yazid meninggal pada saat pengepungan kota Mekah.[8]
3.  Muawiyah II Bin Yazid
Pengganti khalifah Yazid bin Muawiyah adalah Muawiyah II bin Yazid, dimana masa pemerintahannya tidak bertahan lama karena sakit yang dideritanya.
4.  Abdullah Ibnu Zubair (64-73 H/ 683-692 M)
            Sebagaimana yang telah diebutkan di atas bahwa Abdullah Ibnu Zubair membaiat dirinya dan diikuti oleh penduduk Medinah pasca tragedi Karbala. Dengan demikian, maka pemerintahan Muawiyah Bin Yazid, Marwan Bin Hakam serta Abdul Malik bin Marwan (di awal pemerintahannya) tidak sah sebab merek berkuasa di Syam pada saat pemerintahan Abdullah Ibnu Zubair.[9] Adapun peristiwa politik yang terjadi adalah pemberontakan Marwan Bin Hakam dari keturunan Muawiyah, pemberontakan Mukhtar ats-Saqafi pengikut Abdullah Ibnu Zubair yang membangkang dan melarikan diri ke Kufah serta mengaku sebagai Imam Mahdi serta pemberontakan Abdul Malik bin Marwan bin Hakam yang mampu menguasai Irak dan bergerak menuju kota Mekkah sampai pada akhirnya Abdullah ibnu Zubair meninggal dalam perang tersebut.
5.  Abdul Malik Bin Marwan (keturunan Muawiyah) 73-86 H/692-705M
            Abdul Malik Bin Marwan dianggap sebagai pendiri kedua bani Umayyah, yang berhasil mempersatukan kembali negeri-negeri Islam di bawah kekuasannya. Adapun pemberontakan yang terjadi adalah pemberontakan Abdur Rahman ibnul Asy-‘ats, Hajjaj bin Yusuf  ats-Tsaqafi salah seorang Gubernur Abdul Malik  sekaligus komandan pasukan ketika penyerangan terhadap Abdullah Ibnu Zubair serta pemberontakan kaum khawarij
6.  Walid bin Abdul Malik (86-96 H/ 705-714 M)
            Walid bin Abdul Malik adalah anak dari khlaifah sebelumnya. Dia menggantikan ayahnya menjadi khalifah setelah ayahnya meninggal. Dalam pemerintahnnya tidak terlalu banyak terjadi peristiwa politik kecuali berupa ekspansi kekuasaan haingga akhirnya khalifah Walid meninggal setelah 10 tahun menjadi khalifah.
7. Sulaiman bin Abdul Malik 96-99 H/714-717 M)
            Sulaiman bin abdul Malik adalah saudara Walid bin Abdul Malik yang ssebelumnya menjadi khalifah di Ramalah. Berdasarkan wasiat ayahnya bahwa sepeninggal Abdul Malik maka yang akan menggantikannya adalah Walid dan Sulaiman. Pada masa awal pemerintahannya Sulaiman dihadapkan pada aksi balas dendam dari pemimpin-pemimpin besar yang ada sebelumnya. Mereka dan bersekongkol dengan Walid untuk menurunkan dia dari putra Mahkota dan menggantinya dengan Putra Walid. Akan tetapi ketika Sulaiman menunaikan Ibadah Haji dia mewasiatkan agar pengganti setelahnya adalah anak dari pamannya yaitu Umar Bin Abdul Azis.
8.  Umar Bin Abdul Azis  (99-101 H/717-719 M)
            Sejarah mencatat bahwa dari keturunan Bani Umayyah khalifah yang paling mengikuti syariat Islam adalah Umar Bin Abdul Azis. Bahkan pemerintahan Umar Bin Abdul Azis dianggap sebagainsatu lembaran yang menghubungkan sejarah Abu Bakar dan Umar Bin Khaththab yang pernah terputus.
            Umar bin Abdul Azis ketika menjadi khalifah mengembalikan semua harta yang ada pada dirinya ke Baitul Mal termasuk perhiasan dan berlian yang dimiliki oleh istrinya semuanya dikembalikan dan mengharamkan dirinya untuk mengambil sesuatupun dari Baitul Mal. Dalam pemerintahannya banyak melakukan reformasi dan perbaikan, sedakah dan zakat didistribusikan secara benar hingga kemiskinan tiadak ada lagi dizamannya. Pada masanya cemoohan serta penindasan kepada kaum syiah dihentikan  sehingga tidak pernah terjadi konflik internal termasuk kaum khawarij tidak melakukan geraka-gerakan revolusioner bahkan mereka mendatangi Umar Bin Abdul Azis untuk melakukan dialog terbuka sehingga banyak diantara mereka yang kembali ke jalan yang benar. Pasca wafatnya Umar Bin Abdul Azis yang hanya memerintah 2 tahun, peristiwa poitik yang banya terjadi adalah penyusunan kekuatan Bani Abbasiyah, yang pada akhirnya pada khalifah Marwan Bin Muhammad (127-132 H/744-749 M) ketika terjadi pertempuran antara Bani abbasiyah dengan dengan pasukan Marwan di sungai Zab (antara Mosul dan Arbil) pasukannya kalah dan dia terbunuh sekaligus mengakhiri masa dinasti Umayyah.


BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
            Dinasti Bani Umayyah adalah khalifah yang memimpin setelah khulafaurrasyidin. Kepemimpinan Muawiyah sebagai pendiri dinasti Bani Umayyah berawal dari perpecahan umat Islam diakhir masa khulafaurrasyidin
            Melalui perang Shiffin yang diakhiri dengan Arbitrase, akhirnya Muawiyah membaiat dirinya menjadi khalifah menggantikan khalifah Ali Bin Abu Thalib.
            Pada masa pemerintahan dinasti Umayah perluasan kekuasaan Islam mengalami kemajuan yang sangat pesat, hampir menguasai duapertiga belahan dunia. Akan tetapi dalam pemerintahannya juga banyak noda hitam yang terjadi dalam upaya pelanggengan kekuasaan. Noda hitam tersebut yang paling memalukan adalah peristiwa Karbala yang masih membekas pada salah satu kelompok Islam sampai sekarang.
B. Saran
            Sejarah Islam banyak memiliki versi, sehingga sebagai orang yang hadir jauh dari fakta sejarah maka sudah selayaknya kita mempelajari semua versi tersebut untuk membuka mata kita terhadap realitas sejarah yang sebanarnya.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Usairy, Ahmad, At-Tarikh al-Islamiyah, diterjemahkan Samson  (Cet. VI; Jakarta:Akbarmedia, 2008)
Amuli, Jawad, Irfan wa Hamasah, diterjemahkan Muhammad Ilyas, (Cet. I, Bogor, Cahaya, 2003)
As-Suyuthi, Imam, Tatikh Khulafa’ Diterjemahkan Samson Rahman (Cet.V, Jakarta:Pustaka Al-Kautsar, 2006)
Ja’farian, Rasul, History Of Chalips: From the Death of The Messenger (s) to The Decline of The Umayyad Dynasti, Diterjemahkan Ilyas Hasan (qum : Ansharian Publication, 2003)
Nashr, Vali, The Shiah Revival:How Complicts Within Islam Will Shafe The Future, Diterjemahkan M. Ide Murtesa, (Cet. I, Jakarta:Diwan 2007)
Syalabi, A, Sejarah dan Kebudayaan Islam Jilid 2, diterjemahkan Mukhtar Yahya dan Sanusi Latief (Cet. IV, Jakarta:Mutiara Sumber Widya, 2000)


[1] Kata pengantar oleh Ahmad Al-Usairy yang dikutip dalam pengantar Unwan al-Majd  karangan Ibnu Bisr h. 12
[2] Ayatullah Jawad Amuli, Irfan wa Hamasah, diterjemhakan Muhammad Ilyas, (Cet. I, Bogor Cahaya, 2003) h. 189-190
[3] Secara lengkap dapat dibaca dalam kitab Imam As-Suyuthi, Tarikh Khulafa’ , h. 229-304
[4] Ahmad Al-Usairy, Sejarah Islam sejak zaman Nabi Adam hingga abad  XX h. 173
[5] Ibid 185
[6] Ibid. H. 192
[7] Untuk studi perbandingan terhadap peristiwa Karbala dan efek yang ditimbulkannya terhadap dunia Islam hingga hari ini, dapat dilihat pada karya Vali Nasr, The syiah revival : How Complicts Within Islam Will Shafe The Future, diterjemahkan M. Ide Murtesa, (Cet. I,: Jakarta:Diwan, 2007), h. 39-52
[8] Op.Cit. h. 194
[9] Lo Cit, h. 195

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda